Kemarin sore Kafe Gurgur kedatangan tamu satu keluarga. Mereka terdiri empat orang dewasa dan dua anak kecil. Si ibu tertarik melihat pot bermotif gorga (seni ukir Batak) yang dipajang di teras kafe. Dia bertanya, berapa harganya.Â
Saya menjawab pertanyaan itu. Menjelaskan sedikit tentang apa dan bagaimana pot motif gorga yang cantik itu. Â
Itulah jalan pembuka kami berbincang. Mereka adalah keluarga, dalam perjalanan ke Sibolga, dari Medan, mampir di Kafe Gurgur di Tampahan Balige. Sekadar istirahat meluruskan badan.Â
Ibu itu bertanya marga keluarga saya. Setelah itu dia memperkenalkan marga dirinya, kemudian marga suaminya, yang adalah Lumban Batu. Mendengar marga Lumban Batu, saya langsung terhubung.Â
"Lumban Batu akan mengadakan pertemuan besar di Dolok Sanggul ya, Amang," kata saya kepada si bapak.Â
Saya jelaskan bahwa saya menyunting buku Sejarah Raja Lumban Batu yang akan diluncurkan nanti. Lalu kami terlibat dalam perbincangan hangat. Bapak itu tidak tahu menahu soal kegiatan yang saya sebutkan. Dan dia tertarik untuk mengetahui informasi itu lebih jauh. Â
"Saya akan perkenalkan nama Amang ke nomor kontak Lumban Batu yang ada pada saya. Nama Amang siapa, kalau boleh tahu?" tanya saya sopan.Â
Dia diam. Ragu-ragu menjawabnya. Tentu saya tahu beliau bermarga Lumban Batu. Tapi nama penting juga, bukan? Ada ribuan marga Lumban Batu di dunia ini.Â
"Ompung Theo," jawabnya. Maksudnya, dia adalah kakek dari cucu sulungnya yang bernama Theo. Saya mengerti, langsung mencatat di hape saya.
Saat berkenalan, orang Batak jarang menyebut nama. Tetapi akan langsung menyebut marga. Nama tidak penting. Begitulah pengalaman saya selama lima tahun tinggal di Balige.Â
Ini kebiasaan unik. Saya belum terbiasa dengan itu. Nyatanya, saya paling sering lupa marga yang disebutkan orang saat pertama berkenalan. Sebaliknya kalau nama, biasanya saya akan ingat. Meski orang Batak, darah Batak di dalam diri saya memang mandek. Saya lahir dan besar di Jawa Barat.Â
Kenapa orang Batak perlu menyebut marga saat berkenalan? Karena, dengan saling menyebut marga, dari situ akan terurai kekerabatan di antara mereka. Selanjutnya, mereka akan tahu posisi masing-masing dalam konsep filosofis sosial-budaya masyarakat Batak. Â Â
Misalnya begini. Ayah saya bermarga Siregar dan saya sebagai boru-nya, mewarisi marganya. Ibu saya boru Butarbutar. Kalau saya bertemu dengan seorang bermarga Siregar, kami masih akan saling bertanya lebih lanjut, Siregar apa, atau Siregar dari pucuk yang mana. Ada empat marga dasar Siregar. Dongoran, Silali, Siagian, Sormin. Â
Saya Siregar Dongoran. Di antara keempat pucuk marga Siregar masih sering tidak seragam. Ada yang mengatakan Dongoran itu si sulung, baru kemudian Silali, Sormin, Siagian. Saya mendapat informasi dari ayah saya bahwa Dongoran adalah bungsu dari keempat Siregar.Â
Selesai menentukan Siregar dari pucuk yang mana, pertanyaan kami selanjutnya adalah, Siregar sudut ke berapa, atau keturunan ke berapa. Maksudnya, dari pucuk pucuknya marga Siregar, dan Si Raja Batak (abad 13) saya keturunan yang keberapa. Ayah saya bilang, kami keturunan ke-16. Dari situ akan diketahui siapa yang berfungsi sebagai abang/kakak, siapa yang adik.
Setelah mengetahui itu maka dua orang yang baru kenal akan dapat menentukan sebutan antar mereka. Misalnya dia adalah kakak, tulang (paman), namboru (uwak, adik atau kakak perempuan dari pihak marga Siregar), dan lain sebagainya.Â
Itu sebabnya dalam kekerabatan orang Batak, orang yang usianya lebih muda dapat disebut Ompung (kakek/nenek) karena itu tadi, setelah diketahui posisinya, setelah ditarik asal-usul lebih dulu.Â
Bagi yang lahir dan besar bukan di Tanah Batak seperti saya, kekerabatan saat berkenalan itu, tidak bunyi. Saya mesti menghafat dan mengingat hubungan antar marga.Â
Yang mudah, kalau orang yang baru saya kenal bermarga Siregar atau marga Butarbutar, barulah kedua marga itu bunyi di dalam kepala saya.Â
Pada satu waktu saya mampir di kedai mi. Seorang tamu datang, laki-laki tinggi besar. Rupanya dia adalah kawan dari pemilik kedai. Mereka berbincang sebentar, setelah itu pemilik kedai memanggil pegawainya. Seorang perempuan muda, bertubuh kecil.
Lelaki tinggi besar itu menguluarkan tangannya dan menyebut marganya. Si perempuan kecil melakukan hal sama dan menyebut marga. Melihat pemandangan itu, saya kagum. Kekerabatan bagi orang Batak membuat siapa pun setara. Tak soal apa statusnya. Itu yang pertama dan terutama.Â
30 April 2024Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H