Ngomong-ngomong, apa boleh baca puisi atau cerita atau drama? Membaca karya sastra tidak dapat dikatakan dosa. Alasannya, kita mengerahkan seluruh perhatian pada tulisan atas dasar ordo amoris: bahwa manusia seharusnya mencintai segala ciptaan dalam relasinya dengan Allah. Nyatanya, karya seni adalah kesempatan untuk mendapat kesegaran dan rekresi dan kesenangan. Bahwa membaca sastra atau membaca secara mendalam merupakan cara tak tergantikan dalam mengasah ketajaman dan kebijakan.
Dalam hal jenis bacaan, pembaca adalah raja, yang menentukan tulisan apa yang akan dibaca. Jika berdasarkan kasih kepada Allah dan sesama maka digambarkan dengan caritas. Jika berdasarkan keinginan sendiri merujuk pada cupiditas. Istilah ini menjadi pembeda antara orang yang hidup saleh dan tidak.
Mencintai sesama selalu berisiko. Entah sesama itu akan membalas atau menolak kasih kita, dan kita tetap berjuang untuk menunjukkan kebaikan. Jika mengasihi Allah dalam membaca maka kita akan memperhatikan apa yang kita baca, yang memiliki otoritas kebenaran atau tidak.
Â
Mengejar Pengertian
Fenomena teks --demi memperoleh kebijakan dan otoritas -- dikenal dalam tradisi agama Yahudi. Zohar, seorang mistis Yahudi, mengibaratkan Taurat bagai gadis yang cantik dan terhormat, dipingit di istana yang indah dan terpencil. Ia punya kekasih yang hanya gadis itu yang tahu.
Sang kekasih terus lewat-lewat di gerbang, matanya memonitor sekeliling. Gadis itu menyadari keberadaan sang kekasih, dan ia memikirkan untuk melakukan sesuatu. Perlahan ia mendorong pintu hingga sedikit celah terbuka, menunjukkan diri kepada sang kekasih, lalu cepat-cepat menutup pintu. Meski sekilas, sang kekasih melihat. Dia mahfum bahwa karena cintanyalah gadis itu memperlihatkan  diri. Sejak itu hatinya tertuju kepada si gadis. Begitu juga Taurat, hanya terbuka bagi mereka yang sungguh-sungguh cinta. Orang harus mengejar Taurat dengan sepenuh kekuatan, seperti mengejar seorang kekasih.
Talmud (catatan hukum, etika, kebiasa, sejarah Yahudi) bagi orang Yahudi pun didedikasikan bagi Allah. Bahwa, "Satu kali kamu mungkin meninggalkan Aku, tetapi tidak TauratKu" digambarkan oleh Emanuel Levinas (1906-1995) tentang orang Yahudi yang harus "mencintai Taurat lebih daripada mencintai Tuhan" (bayangan Ulangan 6:4-9).
Dalam Sejarah Membaca, Alberto Manguel (1948- Â ) menulis, "Pada hari raya Shavout, memperingati hari Musa menerima Hukum Taurat dari tangan Allah, seorang anak laki-laki siap ditahbiskan. Tubuhnya dibelitkan selendang doa dan diserahkan oleh ayahnya kepada gurunya. Guru itu menempatkan si anak di pangkuannya, memperlihatkan kepada si anak sebuah piring yang di atasnya tertera huruf Ibrani dan kutipan ayat dari Kitab Suci, berikut tulisan, "Kiranya Taurat menjadi kesukaanmu." Lalu piring itu dilumuri madu dan anak itu menjilatnya, demikianlah tubuhnya digambarkan mencerna kata-kata kudus. (bayangan Mazmur 19:10 dan Yehezkiel 3:3).
Perlakuan yang sama terhadap otoritatif teks terjadi di biara-biara pada abad pertengahan. Mereka mempraktikkan lectio (membaca) dan meditatio (meditasi, merenungkan) yang digabung, dan hasilnya adalah ruminatio --mengunyah firman/kata.
Merenungkan adalah mendekatkan diri selekat mungkin pada kalimat yang diucapkan dan menimbang semua kata dengan cara diperdengarkan bersuara dengan maksud memahami kedalaman maknanya. Mencerna isi teks dengan mengunyah untuk memunculkan seluruh rasa. Itu yang disebut oleh St Augustine palatum cordis atau in ore cordis, artinya kurang lebih the taste of the heart dan the ear of the heart. Pembaca atau pendengar dalam hati dapat merasakan makna saat mempelajari puisi atau bagian-bagian musik karena hati mencapai teks atau musik sebagai sebuah kejernihan dan kekuatan dalam hidup.
Mencerna sebuah teks suci atau yang kuat diekspresikan dengan cara hikmat oleh pendengar yang membaca demi pengertian. Petrach (1304-1307) misalnya, mencium teks Virgil (70-19BC) sebelum ia membukanya. Erasmus (1469-1536) melakukan hal sama kepada teks Cicero (106-43BC). Machiavelli (1469-1527) berpakaian resmi setiap kali akan membaca sebagai tanda penghargaan terhadap teks. Sikap tersebut merupakan penghargaan secara langsung. Dan kritik sastra adalah sebuah bentuk penghargaan. Â Â
Petrarch menjelaskan alasan dia mengutip tulisan pengarang-pengarang klasik: Tidak ada yang sangat menyentuh daripada aksioma orang-orang besar. Saya pakai itu untuk menguji diri saya, untuk melihat apakah itu berisi sesuatu yang solid dan mulia, kokoh atau tegar dalam menghadapi keberuntungan yang buruk, atau untuk menemukan jangan-jangan pikiran saya cupet. Saya berterima kasih kepada pengarang yang memberi saya kesempatan untuk menguji pikiran saya.
David Lyle Jeffrey (1941- Â Â ) mengomentari frase Petrarch yang mengisyaratkan kebergantungan pada otoritas pengarang, dengan berkata, saya baru sadar telah ditipu oleh pikiran sendiri. Hal itu sekaligus menunjukkan sikap skeptik iman kristen terhadap masalah interpretasi yang diprivatisasi, seperti pernyataan St Augustine di atas.