Bahwa tak seorang pun dapat memenuhi Hukum Kasih bila ia tidak mengasihi. Sebaliknya, seorang yang mengasihi akan, seperti kata mazmur, gemar dalam ketetapan Allah dan merindukan hukum Allah setiap waktu (Mazmur 119: 16, 20). Artinya, kalau kita mengaku paham Kitab Suci -seluruh atau sebagian- tetapi tidak mengasihi Tuhan dan sesama, bohonglah itu semua.
Setiap hari kita berdoa jadilah kehendakMu di bumi seperti di Surga. Artinya, kita berharap melihat kasih diwujudkan pada saat kerja dan santai, saat mengurus keluarga dan beribadah kepada Tuhan, dalam segala waktu. Kasih mestinya dibuktikan dalam cara berpikir --termasuk menulis- dan berbicara --termasuk membaca.
Membaca dengan Kasih
Apa maksud interpretasi/tafsir berdasarkan Hukum Kasih?
Bapak Gereja, St Augustine (354-430), mengkritik bahwa teologi kristiani tidak memberi penjelasan sistematis soal tafsir yang berdasarkan kasih. Baik dalam konteks eksegesis dan eksposisi, secara alkitabiah. Bila ada yang merespons dengan mengatakan, pengertian akan didapat dari Tuhan, Augustine akan mengejar, berkata, tetapi Tuhan kan tidak pernah mengajar membaca alfabet. Â Â
Jika kita memahami kasih kepada Allah dan sesama sebagai persyaratan utama dalam membaca teks apa saja --termasuk novel, dokumen hukum, dan lainnya- maka kita memenuhi hukum kasih dalam pemikiran, perkataan dan perilaku kita. Santo Agustine mengabaikan soal kesalahan (dalam menafsir makna). Menurutnya, seorang pembaca kristiani yang dapat membangun kasih pada saat membaca namun tidak memahami maksud pengarang, dia tidak sedang ditipu atau merasa tertipu.
Orang yang salah menafsir itu seperti orang yang salah jalan. Ia meninggalkan jalan itu, melewati daerah lain, dan tiba pada tujuan yang sama, dengan jalan pertama tadi. Dalam rangka mengoreksi kesalahan, lebih bermanfaat bila orang tadi tidak putar balik, ambil jalan pintas atau jalan yang berlawanan. Jalan pintas mungkin akan menibakan orang itu pada teritori yang justru tidak dikenali dan berpotensi berbahaya, karena membuatnya lebih jauh dari tujuan semula.
Menurut SantonAugustine, seseorang dapat abai terhadap maksud penulis Kitab Suci atau gagal memahami ayat atau pasal tertentu. Dia harus belajar agar tidak lagi melakukannya karena tujuan Allah adalah satu, begitu pula makna teks alkitab. Jika teks gagal dipahami, begitu pula kita gagal memahami maksud si penulis. Jika pembaca terus-menerus salah (dalam menafsir) dia akan dikalahkan terus.
Ketidakmampuan itu disebabkan manusia adalah makhluk yang sudah jatuh dalam dosa. Satu kali Yesus menjawab pertanyaan murid-muridNya, kenapa Ia berbicara dalam bentuk perumpamaan atau cerita. Jawabannya, karena meski melihat mereka tidak melihat, meski mendengar tetapi tidak mendengar dan mengerti (Matius 13:13). Dalam teks lain dikatakan, "Bahkan sampai pada hari ini, setiap kali mereka membaca kitab Musa, ada selubung yang menutupi hati mereka" (2 Korintus 3:15).
Teks yang dipadati dengan pesan-pesan moral cenderung membosankan. Pemahaman yang rigid tidak menyisakan kesenangan bagi pembaca dalam membaca. Teori tafsir modern telah sangat menghilangkan kesenangan itu padahal tulisan untuk dinikmati, untuk diambil manfaat, dan membuat pembaca diberkati.
Kesenangan (voluptas) dalam membaca ada setelah merasakan apa yang indah, yang manis didengar, dicium, dirasa, disentuh. Curiositas adalah demi pengalaman membaca itu sendiri, bahwa membaca bukan untuk menderita ketidaknyamanan tetapi sebuah nafsu untuk mencari dan mengetahui. Curiositas dan voluptas adalah versi lain dari cupiditas, yaitu keinginan yang salah. Alasannya, keduanya mewakili kecacatan fokus: yaitu berfokus pada hal yang salah atau pada hal benar dengan cara yang salah.
Dalam karyanya Confession, Santo Augustine memunculkan curiositas berkorelasi negatif dengan memoria. Dengan memoria segala (ingatan) yang tersebar dapat ditarik kembali. Membaca melibatkan memoria dan curiositas - di dalam dan di luar batin. Memoria merupakan aktualisasi seseorang untuk merekonfigurasi pengalaman dan memperbaharui pemahaman yang ilahi.