Wendy alias Rowena Higgins berlibur ke pulau Neira di kepulauan Banda Neira dengan suaminya Matthew Morgan. Matthew sudah tiga tahun bekerja di perush minyak di Sumatra.Â
Wendy tidak tahu siapa ayah ibu, diambil oleh ibunya dari rumah yatim piatu Cairns, yang mengatakan ayahnya Jepang dan ibu Indo Belanda.Â
Latar itu membuat Wendy sering  cepat berempati dengan kisah-kisah duka tentang manusia dan penderitaannya.Â
Di Rumah Putih, tempat mereka menginap di Banda, ada tukang masak masak bernama Mirah. Wendy terkesan karena sikap Mirah berbeda dari pembantu lain. Berdiri tegak dengan lawan bicara, berwajah campuran lokal dan luar. Ternyata Mirah dulunya seorang nyai dari seorang perkenier, pemilik kebun, orang Belanda.Â
Wendy ingin mendengar kisah Mirah. Ia meminta Mirah bercerita bagaimana ia  menjadi nyai. Mirah berasal dari Jawa, Semarang persisnya, yang terdampar di Jawa karena penculikan waktu ia berusia 5 tahun, pun berkisah.
Dari cerita Mirahlah juga membaca sejarah Banda, yang adalah tempat asal tanaman pala. Pala dari sini berlimpah dan bermutu tinggi di pasar Internasional.
Kepulauan Banda Neira menjadi pertarungan dua negara, Inggris dan Belanda. Pulau Rhun, salah satunya, dikuasai oleh Inggris pertengahan abad ke-7. Ketika perang Eropa pecah, Belanda menyerbu Pulau Rhun, menangkap dan memulangkan semua orang Inggris ke Banten.Â
Pada perjanjian Breda 1667, Â Inggris menghibahkan Pulau Rhun beserta sebagian jajahan di Laut Karibia, yakni Guyana, kepada Belanda . Kelak disebut Guyana Belanda atau Suriname. Sebaliknya Belanda menyerahkan New Amsterdam dan Pulau Manhattan di Amerika utara ke Inggris. New Amsterdam kemudian jadi New York.Â
Pembaca akan disuguhi makanan khas setempat: haluwa kenari, manisan pala, kelapa, ikan munggae panggang, sup ikan, ikan tongkol bakar, saus colo-colo dari kacang tanah, saus bekasang --ikan yang dibusukkan dan dicampur rempah banda, sambal pala, bandanese salad: daging munggae, kenari dan pala, setup nangka, teh halia, teh kulit manis, teh jahe, dan banyak lagi.
Bagaimana Banda ditemukan para pendatang?
Setelah penaklukan Malaka oleh Portugal, tahun1511, pelayar Portugal menemukan jalan ke Banda. Mereka diterima berdagang baik-baik, seperti pedagang lainnya. Waktu itu di sini sudah ada pedagang dari Arab, India, Cina, Melayu, Jawa, Bugis. Barang yang diperdagangkan cengkeh dan pala, sutra dan pecah belah serta beras (hal 83).
Pala dan cengkeh diangkut dulu ke Malaka, baru diteruskan melalui laut ke India. India menjadi perdagangan rempah selama berabad. Oleh karena itu penjelajah Eropa yang hendak menghindari para perompak kapal dagang di Laut Tengah pergi mencari jalan laut baru ke India. Indialah yang mereka cari itu. (hal 83).
Orang Banda tidak mempunyai sejarah tertulis tentang diri sendiri. Sejarah mereka baru mulai dituliskan tahun 1599, oleh pelayar Belanda yang tiba di Pulau Banda Besar (hal 84).
Pada 23 Mei 1602, orang Belanda secara licik membuat kontrak dengan orang-kaya di Banda. Banda memberikan hak monopoli pembelian pala dan fuli kepada pedagang Belanda. Sebagai imbalannya mereka akan melindungi orang Banda dari pedagang Portugal dan Inggris yang gemar menyembunyikan meriam. (hal 85)Â
Namun orang Banda tidak setia pada kontrak dengan Belanda. Karena itu pada awal April 1606, tibalah 13 kapal di bawah pimpinan Admiral Verhoeven di Banda. Di dalamnya ada serdadu sewaan dari Jepang, yang diberi tugas memancung 44 orang kaya Banda. (hal 87)
Verhoeven mengira orang Banda sudah insaf dengan kesalahan (berdagang dengan pihak lain), setuju mendatangi perundingan di Neira, tak jauh dari tempat serdadunya bekerja membangun benteng. Tapi ia dibunuh. Orang Banda memotong kepalanya, kemudian menancapkannya di ujung tombak. Tombak dipamerkan ke umum. (hal 89)
Salah satu serdadu yang mencari Verhoeven nyaris tewas, yaitu Jan Pieterzoon Coen. Ketika Coen menjadi Gubernur Jenderal tahun 1621, ia bertekad pengkhianatan seperti itu tak boleh terulang. JP Coen mengajak Inggris menghukum orang Banda. Inggris berdalih mengatakan tak punya kapal. Jadi Coen berangkat dengan 13 perahu besar, 13 perahu kecil untuk mengirim berita dan 36 jung. Pasukannya berjumlah 1655 orang Eropa, 286 orang hukuman dari Jawa untuk mendayung dan memikil barang. Ia juga membawa 80-100 serdadu Jepang bayaran, dan mardijker dan burgher. (hal 95)
Dari 15000 penduduk kepulauan Banda yang molek, hanya 1000 tersisa yang luput dari pembantaian dan penjualan sebagai budak (hal 97). Setelah itu JP Coen mengumumkan kepada orang Belanda atau kulit putih, Kompani/VOC akan memberikan sebidang tanah di Banda kepada orang yang sudi menetap seumur hidup. Tanah boleh ditanami pala dan akan diberikan kemudahan.Â
Banyak pelamar dari Batavia dan Ambon, orang kulit putih yang dulu datang ke Nusantara sebagai pegawai Kompani dan sekarang sudah cacat atau pensiun. Tanah-tanah produktif itu dibagi 68 bidang tanah yang disebut perken. Di Pulau Banda ada 34, di Pulay Ay 31, dan di Bandaneira 3 . (hal 102)
Setelah punya tanah, mereka perlu tenaga untuk mengolah kebun. Kompani mendatangkan budak belian dari luar Banda, harganya 100 guiler/orang, laki-laki atau perempuan. Setiap perk boleh membeli 25 budak, yang rata-rata berusia antara 5-30 tahun. Luas bidang tanah yang harus dikerjakan oleh seorang budah sudah ditentukan. Didatangkan dari luar Banda, dari pulau-pulau Nusantara. Kompani/VOC menjamin keamanan, oleh karenanya perkeiner (pemilik kebun) harus bayar pajak ke Kompani.Â
Banyak sengketa dengan persoalan batas tanah tak jelas. Kelompok budak antar perk/kebun. Setelah pengusiran orang Inggris dari pulau, Kompani membiarkan pulau terbengkalai, menghancurkan pohon pala supaya tidak ada manusia tinggal.
Tahun 1665, hasil perundingan perdamaian, orang Inggris mengirim pendatang ke Pulau Rhun. Para pendatang belum mendarat, baru tiba di Maluku, pecah perang antara Inggris lawan Belanda di Eropa. Dalam Perjanjian Breda, Pulau Rhun dan Suriname ditukar dengan New Amsterdam dan Pulau Manhattan. Dua abad kemudian, 1862, Pulau hun kembali menarik perhatian Belanda dan mulai dihuni. Pala dari pulau ini berlimpah dan bermutu tinggi. (hal 110)
Tahun 1959, ketika kapal dagang Belanda singgah ke Banda pertama kalinya, sedang terjadi bencana Gunung Api batuk-batuk. Disertai hujan abu, aliran lava dan gelombang pasang dari laut. Menurut catatan Belanda, ahun 1615, 1629, 1638, 1693, gunung itu meletus. Rumah roboh tertimpa batu yang beterbangan, tertimbun abu, pantai longsor, benda di atasnya terjun ke laut. (hal 111)
Akibatnya, pohon pala rusak karena gempa bumi. Perkenier terancam penyakit cacar, kolera, batuk pilek hebat, beri-beri, malaria, dan penyakit kulit.Â
Tahun 1778, Gunung Api meletus lagi, timbul gempa bumi dahsyat yang menghancurkan banyak gedung bahkan benteng-benteng Belanda. Angin ribut yang menyapu segala sesuatu. Satu di antara 2 pohon patah-patah kena angina atau tercabut akarnya. Biasanya panen 400 ribu kilo pala, menjadi 15 ribu kilo. Fuji 100 ribu kilo, tahun itu 5 ribu.
Kompani membebaskan utang, menaikkan memberi produksi selama 10 tahun (hal.116). Namun keadaan tidak membaik selama 10 tahun. Pada 1784 terjadi kebakaran, yang mungkin dilakukan oleh perkenier dan budak.
Begitulah Tuan Besar, yang menjadikan Mirah seorang nyai, menjadi bangkrut. Kedua anak Mirah dari hasil pernikahan itu mengalami perpindahan, yang tidak dapat diatasi oleh Mirah. Mirah tetap di Banda, hidup tenang sebagai tukang masak. Karena kehadiran Wendy, Mirah menyusuri kembali penderitaannya di tahun-tahun belakang.
Novel ini ditulis oleh Hanna Rambe, seorang penulis dan jurnalis. Buku pertama terbit tahun 1983 oleh UI Press, diterbitkan ulang oleh Indonesia Tera tahun 1988, terakhir oleh penerbit Obor tahun 2010. Sebanyak 392 halaman. Buku ini menjadi pelajaran sejarah rempah dan Banda, yang menyenangkan. Hanna melakukan riset memanfaatkan ketika ia ditugaskan meliput ke daerah sebagai jurnalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H