Tahun 1959, ketika kapal dagang Belanda singgah ke Banda pertama kalinya, sedang terjadi bencana Gunung Api batuk-batuk. Disertai hujan abu, aliran lava dan gelombang pasang dari laut. Menurut catatan Belanda, ahun 1615, 1629, 1638, 1693, gunung itu meletus. Rumah roboh tertimpa batu yang beterbangan, tertimbun abu, pantai longsor, benda di atasnya terjun ke laut. (hal 111)
Akibatnya, pohon pala rusak karena gempa bumi. Perkenier terancam penyakit cacar, kolera, batuk pilek hebat, beri-beri, malaria, dan penyakit kulit.Â
Tahun 1778, Gunung Api meletus lagi, timbul gempa bumi dahsyat yang menghancurkan banyak gedung bahkan benteng-benteng Belanda. Angin ribut yang menyapu segala sesuatu. Satu di antara 2 pohon patah-patah kena angina atau tercabut akarnya. Biasanya panen 400 ribu kilo pala, menjadi 15 ribu kilo. Fuji 100 ribu kilo, tahun itu 5 ribu.
Kompani membebaskan utang, menaikkan memberi produksi selama 10 tahun (hal.116). Namun keadaan tidak membaik selama 10 tahun. Pada 1784 terjadi kebakaran, yang mungkin dilakukan oleh perkenier dan budak.
Begitulah Tuan Besar, yang menjadikan Mirah seorang nyai, menjadi bangkrut. Kedua anak Mirah dari hasil pernikahan itu mengalami perpindahan, yang tidak dapat diatasi oleh Mirah. Mirah tetap di Banda, hidup tenang sebagai tukang masak. Karena kehadiran Wendy, Mirah menyusuri kembali penderitaannya di tahun-tahun belakang.
Novel ini ditulis oleh Hanna Rambe, seorang penulis dan jurnalis. Buku pertama terbit tahun 1983 oleh UI Press, diterbitkan ulang oleh Indonesia Tera tahun 1988, terakhir oleh penerbit Obor tahun 2010. Sebanyak 392 halaman. Buku ini menjadi pelajaran sejarah rempah dan Banda, yang menyenangkan. Hanna melakukan riset memanfaatkan ketika ia ditugaskan meliput ke daerah sebagai jurnalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H