Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Membaca Buku Cita-Cita Titik Dua Petani!

6 Maret 2023   08:40 Diperbarui: 6 Maret 2023   09:38 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Siapa di antara kita yang mengingat petani meski ketika kita makan nasi? Saya hampir tidak pernah untuk mengatakan tidak pernah. Tiga tahun belakangan saya tinggal di satu kabupaten di Sumatera utara. Di daerah saya lebih berkesempatan untuk melihat hijaunya sawah dan peristiwa musim-musim bertani daripada ketika saya tinggal di Jakarta. Ini pun tidak dengan serta merta saya dengan penuh memikirkan petani sebagai pihak pertama yang menghadirkan nasi di piring saya. 

Di sisi lain saya bersyukur atas ibu saya almarhum yang mengingatkan kami anak-anaknya di meja makan untuk menghabiskan nasi di piring, hingga butir terakhir. Nanti nasinya nangis, begitu alasan ibu. Itulah yang menumbuhkan rasa sayang saya pada nasi dan kebiasaan menghabiskan nasi di piring saya. 

Saya punya kawan yang usianya lebih dari setengah abad. Ia pernah bercerita tentang peristiwa masa kecil di meja makan. Ibunya mengajar dia dan saudara-saudaranya untuk berterima kasih kepada ibu dan bapak petani, sebelum mereka makan. Dari cerita ini saya ingin menegaskan bahwa romantika beras dan nasi dan petani lebih berbunyi pada orang-orang yang berusia lima puluh tahun ke atas.

Dan hari ini, tahun 2023, masa dunia digiring perhatiannya pada yang serba digital. Kita menyaksikan di media sosial Presiden Joko Widodo bertanya cita-cita kepada seorang anak kecil yang dijawab ingin menjadi youtuber. Kita tertawa. Namun itulah cita-cita anak-anak generasi ini. 

Kisah di atas menandakan makin terfokusnya manusia masa kini pada hal-hal instan dan segera menghasilkan uang. Kekhawatiran Gita Wirjawan pada satu penelitian  yang mengatakan bahwa lebih 70% waktu anak-anak remaja habis dengan gadgetnya, menjadi sangat relevan. Kapan anak generasi Y atau Z  mengingat petani? Tidak pernah. Atau pernahkah kepada mereka diberitahu bagaimana perjalanan dari padi ke beras menjadi nasi hingga tiba di piring mereka ketika makan? Mungkin orang tua mereka pun tidak terpikir untuk bercerita tentang hal itu. Jadi, ketika anak-anak memandang seonggok nasi tersisa di piring tanpa rasa bersalah dan perasaan datar, adalah sesuatu yang niscaya.

Betul dunia berubah. Dan perubahan yang sangat cepat itu lebih cepat dari perkiraan kita. Dan rasanya, untuk menebus waktu dan segala romantika yang kita dambakan di masa lalu, tidak memungkinkan. Kita terlalu bergegas karena dipaksa dan terpaksa. Kita melompati tahapan-tahapan dalam hidup agar cita-cita lebih cepat tercapai dan melupakan sebuah proses, yang akhirnya membuat kita menjadi kurang manusiawi. Begitulah kita sekarang ini dan kita tidak sempat menyesalinya karena terus diburu waktu. 

Lantas hadirlah buku Cita-Cita Titik Dua Petani di tangan saya. Penulisnya, Kanti W Janis, seperti ingin menebus waktu yang belum dialaminya. Dia menyajikan buku itu ke meja makan para pembacanya. Termasuk saya.

Judul Titik Dua dalam buku ditulis italic alias miring. Apa artinya? Penulis menjawab, dulu kita sering diminta menulis identitas dengan cara, nama titik dua, cita-cita titik dua. Titik dua yang ditulis dengan tanda baca. Dan tanda seru setelah kata petani, untuk memberi penekanan bahwa cita-cita itu disebut dengan percaya diri tanpa ragu. Barangkali seperti jawaban anak kecil tadi, menjawab: Youtuber! 

*

Menerima usulan penulis buku tentang cita-cita menjadi seorang petani, memberi saya sebuah rasa. Dunia ini sedang mendewakan kata digital, youtuber, selegram, vlogger, tiktokers, chef, crazy rich, conten creator. Kata petani seperti jauh di belakang. Judul yang tidak umum untuk sebuah novel fiksi. Tapi saya mendengar Romo Mudji Sutrisno memuji buku itu, menyelesaikan membaca dalam dua hari. Ternyata saya pun, setelah membuka buku halaman pertama, tidak ingin berhenti sampai menyelesaikannya. 

Saya hadir di peluncuran buku tersebut beberapa waktu lalu di perpustakaan Baca Di Tebet di Tebet Jakarta. Seorang hadirin bertanya kepada penulis: apakah menulis novel dengan isu petani alias kaum marhaen ini gagasan murni atau hanya kegenitan penulisnya? 

Saya mengerti maksud pertanyaan itu. Pertanyaan itu lebih merujuk pada mempertanyakan latar belakang Kanti, yang lahir dari keluarga berkecukupan sehingga memikirkan masalah petani adalah hal yang absurd.

Saya ingin menjawab pertanyaan itu begini. Kanti lahir tahun 1985 di Jakarta. Ia putri dari seorang ayah politisi dan praktisi hukum, dan seorang ibu yang berprofesi sebagai banker. Hidup serba berkecukupan dan barangkali tidak pernah sempat untuk naik bus kota sekali pun dalam hidupnya. Jadi, bagaimana ia dapat terhubung dengan petani yang berjarak cukup jauh dengannya?

Pada bagian depan buku, penulis mencatat buku ini untuk mengenang ayah tercinta, Roy BB Janis, yang berkata, "Nasib petani harus diutamakan karena petani yang memberi kita makan, memberi makan bangsa." Pada bagian lain penulis mengaku buku ini perlu riset selama dua belas tahun. Tentu saja. Kanti sendiri berprofesi sebagai advokat dan menulis dan meriset untuk keperluan buku ini pada waktu-waktu luangnya. 

Selain itu, saya membaca tulisan pendek Kanti yang termasuk dalam buku Kemanusiaan pada Masa Corona (2021) sebuah antologi seratus tulisan oleh seratus penulis. Tulisan itu memberi saya pemandangan tentang siapa Kanti, orangtua, cara dia menghabiskan waktu di luar jam sekolah, keputusan-keputusan mandiri ketika kuliah di Eropa. 

Di sana Kanti menulis pengalaman pribadi bagaimana dia berada di dunia yang serba ada namun memilih hidup yang praktis dan atas dasar kegunaan daripada gaya hidup. Ketika di Eropa misalnya, orangtuanya memilihkan rumah tinggal, namun ia lebih memilih apartemen kecil yang lebih masuk akal baginya untuk merawatnya. Ia menahan diri untuk tidak berbelanja pakaian baru dengan alasan pakaian lama masih mencukupi dan ia tidak memerlukannya. Ini untuk mengkonter kalangan orang yang mampu, berbelanja barang untuk memuaskan keinginan mata daripada kebutuhan diri.

Cerita lain bagaimana Kanti yang peduli dengan bumi yang sedang rusak. Ia berkisah bagaimana dia sangat menyempatkan diri untuk menampung air hujan di rumah, kemudian dilakukan penyulingan sampai air tersebut dapat diminum. Bila tidak mengetahui latar-latar belakang ini maka muncul pertanyaan seperti yang ditanyakan tadi.

*

Buku Cita-Cita Titik Dua Petani berkisah tentang persahabatan tiga anak SMP --Randy, Menik, dan Pratama. Buku ditulis dengan sudut penceritaan Randy sebagai aku.  

Diawali dengan cerita Randy yang kerap dibuli oleh kawan-kawan sekolahnya karena membawa air minum dan bekal dari rumah. Para pembuli adalah anak-anak yang sok jago, yang dipimpin oleh anak yang orangtuanya berkemampuan. Orangtua Randy bercerai. Ibunya menikah kedua kali dengan seorang dokter (baa= punya uang). Ibunya bercerai dari ayahnya yang adalah seorang pelukis yang kadang punya uang kadang tidak. Randy bercita-cita menjadi komikus, yang tidak didukung ibunya karena berpikir cita-cita itu tidak menjanjikan masa depan sejahtera. Sang ibu memaksa Randy mengikuti les matematika dan sains, dengan harapan dapat masuk universitas ternama. Buku komik yang digambar Randy, disingkirkan. Randy tidak dimengerti oleh ibunya. 

Lalu Menik. Ia bercita-cita menjadi artis. Dia seorang anak angkat alias dari keluarga yang tidak ideal. Cita-cita yang ditertawakan oleh kawan-kawan sekolah karena menganggap tidak mungkin anak desa menjadi artis. Yang cocok menjadi artis adalah mereka dengan penampilan keren, putih, cantik. Sementara Menik berkulit gelap dan sederhana. Mana bisa jadi artis? Kira-kira begitulah pandangan anak-anak di sekolah Nusantara itu.    

Kemudian muncul Pratama alias Tama. Ia anak baru di kelas mereka. Dialah tokoh cerita. Kehadirannya di sekolah itu mengubah banyak kebiasaan sekolah yang tidak sehat. Di sinilah Kanti memainkan ceritanya. Tama bercita-cita menjadi petani dengan tanda seru. Penokohan Tama digambarkan dengan sangat kuat dan heroik. 

Mereka bertiga menjadi sahabat. Di antara mereka tercipta suasana saling memahami. Penulis menggambarkan percakapan sederhana ala remaja. Tapi apa benar remaja seusia Tama bisa memiliki keinginan sangat kuat seperti yang digambarkan penulis? Saya percaya tekad keras seorang remaja yang terobsesi pada satu hal setelah mendengar pengakuan Dian Sastro pada satu podcast, bercerita anaknya yang lebih perfeksionis darinya dalam satu hal dan anaknya baru berusia 12 tahun. 

Kemudian ketiga berlibur ke desa tempat keluarga Tama tinggal. Di sanalah digambarkan kehidupan keluarga petani yang produktif dan sangat menyenangkan. Penulis memperkenalkan jenis-jenis makanan di desa dan cara mengolah bahan makanan. Nasi tiwul, singkong, keripik ubi, kentang rebus, teh jahe, sayur pecal, tempe tahu, krupuk dan makanan sehat ala desa. Pengalaman minum dari kendi. Mandi dengan air sumur dan cara menarik air dari dalam sumur. WC jongkok, tidur beratap langit, naik sepeda ontel. Tidur lebih cepat, listrik padam malam hari, belajar di siang hari saat matahari terang agar hemat lampu. Sebuah penggambaran kehidupan desa yang luwes.

Mereka belajar menanam padi. Dimulai dari menyiapkan lahan, cara menanam bibir, bibit padi yang ditransplantasi alias ditandur, jarak tanam, kondisi tanah yang cocok untuk pagi, penyiangan, asupan organik. Tidak menggunakan pupuk kimia. 

Pelajaran memasak tiwul, pelajaran memilih benih padi yang sehat, membuat pupuk kompos. Tulisan yang disertai gambar ilustrasi padi dan sawah dan suasana cukup memudahkan dan menarik pembaca untuk memahami cerita. 

Dan, peristiwa sepatu Tama yang bolong. Itu cara penulis mempertanyakan institusi sekolah yang lebih mementingkan standardisasi daripada memahami satu per satu siswa dan kebutuhan berdasarkan apa yang dilihat dan logis. Bagaimana akhirnya Tama memberi kesadaran baru bagi kawan-kawan tentang seorang petani dan akhirnya guru-guru melihat kembali kebijakan-kebijakan sekolah.  

Kanti menyelesaikan satu per satu cita-cita dengan baik. Dalam rangka mempermanis dinamika cerita, antara Menik dan Randy dan Tama dibuat semacam cinta segitiga. Akhir cerita yang tampaknya akan bersambung ke buku berikutnya.   

*

Kisah siswa SD yang kedapatan bunuh diri karena tertekan tugas sekolah, pernah kita baca di media koran. Kisah siswa korban buli kawan-kawan sekolah, sering pula kita dengar menjadi keseharian curhat ibu-ibu muda. Cerita orangtua yang tidak paham cita-cita anaknya atau orangtua yang memaksakan kehendak kepada anaknya, pun tidak kurang kita dengar. Narasi tentang munculnya komunitas petani modern di kota yang bertani dengan cara yang modern dan hasil yang menjanjikan, pun banyak kita dengar. 

Di pihak lain cerita-cerita suram sudah mendahului. Petani yang mati kutu tak bisa beli pupuk, pemerintah yang tidak berpihak kepada petani, petani yang kehilangan kegairahan dalam bertani akibat puso dan iklim yang berubah, keberadaan tengkulak dan mafia dan seribu cerita sedih lain, makin mengubur cita-cita menjadi petani. Kisah keluarga petani yang kehilangan tanah karena menjualnya untuk ongkos naik haji bertebaran di mana-mana, bukan? 

Semua kisah itu kita temukan di dalam buku menjadi sebuah kesatuan. Selesai membaca buku, saya merenung. Kanti telah selesai memanfaatkan fiksi untuk menyuarakan pesan yang dia ingin sampaikan. Riset mendalam yang dilakukan, pola-pola keluarga yang berubah di masyarakat hari ini, tergambar secara reflektif. Saya mesti berterima kasih kepada penulis yang tidak latah memasukkan unsur agama, yang telah sangat menjerat bangsa ini berpikiran picik dan sektarian. 

Setelah peluncuran buku Kanti dan tim melakukan road show ke-16 kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk berbincang tentang buku dan isu petani dengan komunitas anak muda di kota-kota itu. Cerita-cerita baru yang didapat dari perjalanan itu berkembang menjadi sebuah fakta baru bagi Kanti. Bahwa apa yang ditulisnya di buku adalah juga pengalaman keluarga mereka dan menjadi keprihatinan bersama. Kanti telah menemukan bahan baru bagi tulisannya kelak.

Buku ini sebaiknya menjadi bacaan di sekolah, di kampus, di institusi Negara sebagai sebuah pengingat untuk sama-sama memikirkan diri menjadi bangsa yang berdaulat secara pangan. Sangat mungkin dan sangat memungkinkan dengan kekayaan dan luasnya tanah ini.

Cita-Cita Titik Dua Petani!

13 x 19 cm

Penerbit Andi Yogya

262 halaman 

2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun