Namanya singkat saja: Kahari. Namun perjalanan karirnya panjang.Â
Dia teman baik saya. Sebagai sesama anggota Servas, kami berjumpa pertama kali enam tahun lalu di Yogya, saat Servas Indonesia melakukan pertemuan tahun 2017. Akhir November 2022 kami menghadiri konperensi Servas Internasional di India. Dan baru saja ia berlibur dua malam di Balige -tempat saya tinggal sekarang, bersama keluarga kecilnya.Â
[Servas adalah lembaga nonprofit yang mendukung perdamaian dunia melalui hosting  menjadi tuan rumah, dan traveling - perjalanan ke mana-mana di seluruh dunia dan menginap di rumah anggota Servas. Servas International ada di 135 negara. Untuk tahu Servas lebih lanjut sila mampir ke website servas.org]
Lulus sebagai sarjana bahasa Inggris dari Universitas Negeri Solo, Kahari mulai bekerja sebagai guru bahasa Inggris. Beberapa tahun mengajar, ia berpikir, hidup akan begini-begini saja.Â
Satu kali ia mengetahui lembaga pelatihan kerja (LPK) yang memberangkatkan orang ke Jepang. Ia pun mendaftar, mengikuti seleksi, dan lolos. Ia mengikuti pelatihan bahasa dan budaya Jepang selama 3 bulan. Dari sana ia dikirim ke satu lembaga yang memberangkatkannya ke Jepang. Saat itu dia tidak punya uang. Sementara mengurus paspor, cek kesehatan, visa dan uang saku awal, harus dikeluarkan dari kantong sendiri. Beruntung seorang teman baik mau memberinya pinjaman. Ia pun ke Jepang. Â
Di Negeri Matahari Terbit ia bekerja di satu perusahaan selama tiga tahun. Ketika balik ke tanah air, kantongnya lumayan terisi.Â
Merasakan manfaat bekerja di Jepang, ia berbagi pengalaman itu kepada para keponakan, anak-anak saudaranya. Mereka tertarik -karena ada contoh real tentu saja-, mengikuti pelatihan, dan berangkat ke Jepang.
Begitulah tiap kali ia melihat potensi di antara anggota keluarga atau kerabat atau teman, ia bercerita kepada mereka tentang pengalamannya bekerja di Jepang.
Kahari selalu melihat ke sekelilingnya. Anak-anak muda dari keluarga kelas menengah ke bawah di Tanah Air, sering kepentok, tidak punya pilihan. Punya keterampilan namun jatuh ke pekerjaan yang tidak membawanya ke mana-mana. Ingin kuliah, orang tua tak mampu. Terbayang masa depan suram dan kehidupan yang begitu-begitu saja.
Ia kenal anak muda di bengkel langganannya di Solo. Sudah sepuluh tahun ia bekerja di sana dan pemuda itu masih kurus dan dekil. Hidupnya seperti tidak berubah. Sementara keterampilan dan kerajinan seperti yang dimiliki pemuda itu, sangat dihargai di Jepang.
Ia berpikir pasti banyak anak muda yang gamang menatap masa depan. Bila para pemuda itu tahu ada beragam kesempatan di sekitar mereka, mungkin hidup akan berubah. Asal berdisiplin dan patuh pada aturan, rajin menabung, waktu tiga tahun di negeri orang tidak terasa. Pulang ke Indonesia mereka menjadi pribadi berbeda. Punya modal cukup untuk melanjutkan kehidupan.