Menurut, aku duduk menunggu dibakarkan sepuluh ekor ikan terbang tuing-tuing. Benar, rasanya enak gurih. Dagingnya putih dan berteksktur lembut. Pertama, kau mengupas kulit ikan yang hitam kena bakaran, baru kau makan daging ikannya yang segar. Dicampur sambal kacang, luar biasa rasanya.Â
Ini belum masuk daftar kulinerku, batinku. Sambil makan, lelaki penjual itu menceritakan peristiwa Adam Air yang meledak di udara tahun 2007, dan puing-puingnya diperkirakan jatuh ke perairan Majene. Sampai sekarang belum ketemu puing-puingnya, dan di situ tempatnya, kata penjual itu sambil menunjuk lautan di ujung sana. Aku mengangguk-angguk.Â
Malam itu kami kembali dijamu dengan menu serba ikan. Dua hari di sini berat badan saya bertambah lima kilo, kata Pak Mike kepada tuan kami. Kami tertawa.Â
Pagi-pagi sekali keesokan harinya, mobil sewaan menjemput kami ke hotel untuk ke Makassar. Dari sana kami akan terbang ke Gorontalo.Â
Wajah Pak Mike merah muda. Sepanjang jalan ia meributkan soal ikan-ikan yang dia makan. Aku menjawabnya dengan pengalaman makan ikan bakar tuing-tuing di pinggir jalan.Â
Pak Mike memandangku, berkata, "Kamu membiarkan aku melewatkan ikan khas Sulawesi Barat? I don't believe this, Astrid."
"Lho, Pak Mike bilang, saya tidak mau diganggu oleh apa pun," bantahku tertawa.
Di bandara Makassar, kami tak sempat makan siang. Di pesawat, Pak Mike melewatkan makan dan ingin tidur saja. Aku sekarang tahu modusnya. Dia menyiapkan lambungnya kosong untuk jamuan makan malam nanti.Â
Di bandara Gorontalo, kami dijemput kendaraan dinas seorang pejabat dewan daerah. Kami diajak bertemu sore itu juga karena nanti malam dia akan terbang ke Jakarta. Dia tak ada waktu lain.Â
Kami tiba di satu restoran bagus. Pak Mike minta dipesankan kopi.Â
Kami berbicara-bicara sementara kopi disajikan. Tak lama petugas restoran menghidangkan mangkuk besar di tengah meja dan mangkuk-mangkuk kecil di depan meja kami.Â