Saya sedang menginap di rumah seorang kawan. Dia dan suaminya punya dua anak perempuan. Si sulung di sekolah menengah atas. Si bungsu akan segera lulus SMP, dan sedang bingung memilih, antara jurusan IPA dan IPS.
Pagi itu kami sarapan di dapur. Si bungsu membuka perbincangan soal sekolah. Jurusan apa aku ya, Ma, tanyanya. Lo, kemarin kamu bilang IPA, jawab ibunya.
Tapi aku ndak suka kimia. Aku suka sejarah. Aku mau ambil IPS saja. Ibunya kali ini diam. Kemarin, Â perbincangan mereka pun mentok dan berakhir dengan tegang. Ibunya bilang, kamu masih plin plan. Menanggapinya, si anak menuduh, ibunya tak mengerti kebingungannya.
Saya jadi ingat kakak saya. Ketika anaknya, keponakan saya, memilih jurusan seni murni di satu institut seni, ia menjadi kecil hati. Menjadi pelukis? Seniman di negeri ini? Kebanyakan hidup seniman tidak gampang meski banyak juga yang berhasil. Kakak saya mengkhawatirkan pilihan anaknya. Ia baru dapat menerima pilihan anaknya lama setelah itu.Â
Peran seorang ibu tidak mudah. Seni tarik-ulur yang luwes dalam menyatukan keinginan dan cita-cita anak, perlu dibangun di dalam diri. Banyak cerita hubungan ibu dan anak menegang gara-gara urusan sekolah.Â
Banyak contoh yang menjelaskan orang tua punya cita-cita pribadi yang belum terwujud, mendamba diwujudkan oleh keturunannya. Orang tua merasa lebih tahu yang terbaik buat anak di masa depan. Jangan sampai anak salah pilih jurusan.Â
Sedang saya mendengarkan percakapan itu, teringatlah saya pada Maria. Ibu Yesus. Sebelum ia jadi ibu, ia telah diberitahu oleh Malaikat bahwa kelak anak yang lahir dari rahimnya, akan menjadi penyelamat dunia.Â
Apa itu artinya? Bagaimana Maria yang masih belia itu mengawal keseharian Yesus sehingga apa yang dikatakan Malaikat dapat kelak terwujud? Apakah ia dan anaknya pernah juga terlibat dalam perbincangan "jadi apa aku nanti" di dapur saat sarapan?
Refleksi saya tentang betapa harus luas hati seorang ibu, membuat saya menghormati Maria. Ia memperhatikan Yesus kecil membantu ayahnya, yang tukang kayu.Â
Yesus pastinya akan menjadi tukang kayu yang handal karena sehari-hari ia berada di bengkel ayahnya. Waktu itu belum ada sekolah public speaking atau sekolah politik atau teologi yang akan mengarahkan Yesus muda menjadi juru selamat. Apa itu juru selamat?Â
Pesan Malaikat yang diterimanya secara personal barangkali terus terngiang dalam batin tiap detik. Ia bertanya-tanya sendiri, kapan waktu itu tiba.Â