Tiap kali memandang Yesus mungkin ia berharap Tuhan memberinya pencerahan tentang bagaimana mengarahkan anak itu kelak menjadi juru selamat. Tidak ada kawan diskusi mengenai hal itu. Kitab Suci mencatat, Maria hanya menyimpan rasa itu di dalam hatinya. Ia percaya, dan ia menunggu.Â
Renungan itu membuat saya menulis selarik puisi, untuk menghormati perempuan agung bernama Maria itu.
Ibu Maria
Terima kasih                               telah menerima Yesus                       apa adanya                            sehingga cita-citanya                    menjadi juru selamat                    tercapai
Dalam kebingungan Maria, ia dengan lembut menerima keberadaan anaknya. Saat anak itu di dapur, di halaman rumah, bermain bersama kawan-kawan kecilnya. Dan setelah dewasa anaknya bersahabat dengan dua belas orang.Â
Anaknya pergi ke pelosok desa bersama kedua belas orang itu, mengajar berhari-hari. Ia mendengar anaknya menyembuhkan di sana, menyembuhkan di sini.
Lalu keadaan berubah. Seorang sahabat anaknya mengkhianati anaknya. Ia sangat sedih. Ia tahu anaknya pun pasti sedih. Anak lelaki sulungnya, putra kebanggaannya itu, dibawa ke pengadilan, didakwa bersalah dengan alasan makar, dan digeret untuk disalibkan.Â
Bahkan para tetangga yang sudah mengenal Yesus sejak kecil, turut meneriaki, salibkan dia! Maria mungkin hancur hatinya, remuk berantakan seperti kaca yang pecah. Tapi ia percaya, dan menunggu.
Keadaan berubah kacau. Ia putus asa melihat Yesus, bayi tersayangnya itu, disalibkan. Apa yang salah di sini? Kenapa Malaikat itu tidak datang lagi kepadanya dan menjelaskan apa yang terjadi?Â
Mungkinkah peristiwa 33 tahun  itu sebuah halusinasi? Bagaimana kalau itu hanya pikirannya sendiri yang melihat kehadiran Malaikat di kamar tidurnya? Bagaimana kalau itu fatamorgana? Tapi ia tetap percaya, dan menunggu.Â
Kelak ia tahu, akhir dari kisah anaknya. Matanya masih menyaksikan anaknya hidup setelah mati, dan berbicara dengan para sahabatnya. Setelah itu ia melihat pengajaran anaknya berkembang dan berkembang.Â