Akhirnya pada 11 Juni 1811, atas perintah pusat, kita berlayar ke pulau Jawa. John ikut bersama kita. Gubernur Jenderal Lord Minto memimpin invasi, dan pada 4 Agustus 1811, kapal kita merapat di pelabuhan Cilincing.
Kita tinggal di istana indah bercat putih di Buitenzorg. Sebuah kota hujan, 65 km jaraknya dari Batavia. Aku memperindah halaman kediaman kita yang luas dengan mendatangkan puluhan ahli botani, menanami segala tanaman, agar menjadi kebun yang luar biasa kayanya.Â
Sementara itu tugas-tugas berat sebagai Gubernur menyerbuku seperti bah. Aku melakukan pelbagai transaksi menguntungkan, meningkatkan pajak, merombak peraturan-peraturan yang merugikan, memperbaiki administrasi hukum dan kepolisian, menghapuskan perdagangan budak, mengumpulkan data statistik yang penting dari seluruh negeri, memberi napas baru bagi seni dan sastra komunitas Batavia.
Seperti kau mencintai Penang, kau membuka dirimu kepada Jawa. Manusia-manusia sederhana dan baik hati. Tulang pipi mereka yang menonjol, rambut mereka yang hitam. Kulit mereka yang kuning seperti emas muda. Pergelangan tangan yang kurus bertulang. Dan hidung itu. Kecil dan pendek. Bentuk bibir yang paling kusuka. Tebal dan mudah tersenyum.
Matamu melihat tanah yang luar biasa. Anak-anak sungainya dialiri air jernih. Matahari bersinar setiap pagi. Udara hangat. Hujan secara teratur membasahi kebun luas kita. Keringat mengucur di dahimu saat kemarau tiba.
Dan kita mencicipi manisnya buah-buahan tropis. Manggis, durian, rambutan, nangka. Bermacam jenis mangga, nanas, jambu batu, pepaya, delima. Asam, jeruk, lemon, sitrun, pir. Tanah negeri ini menyediakan segala yang dibutuhkan penduduknya.Â
Apakah surga seperti Jawa, tanyamu heran, menyadari segala rempah penting Eropa berasal dari timur negeri ini. Aku tak berhenti mencatat dengan tanganku.Â
Lalu tanpa kita sadari, malaria menyerang John seperti perang. Usianya berhenti menjelang 36 tahun. Dengan duka mendalam kita menanam tubuhnya di Pemakaman Tanah Abang. John, sahabat kita tersayang, meninggalkan kita.Â
Lukamu kehilangan John, melebihi yang kurasakan. Aku didera rasa cemburu yang aneh namun tak mampu mengusikmu merayakan kepedihan dengan caramu. Aku terbalut sepi ketika menemukan satu puisi yang indah dari John, untukmu.Pertama kali menghadiri resepsi, kau kehabisan kata-kata untuk mengomentari gaya primitif perempuan-perempuan Batavia. Mereka merokok, main dadu, dengan mulut belepotan merah akibat mengunyah daun sirih. Langsing tubuh mereka tertutup sarung dan semua perhiasan untuk mempermanis penampilan, malah bergantungan di leher seperti pameran. Apakah mereka tidak tahu apa itu keindahan?
Dengan kegemasanmu, tradisi mengunyah sirih di istana putih, tidak ada lagi. Kau menambah sedikit lagi pendidikan dan pengetahuan, bagi mereka. Kau sungguh baik. Perhatian yang kau tunjukkan kepada mereka, setulusnya berasal dari hatimu. Dan wajahku sebagai Gubernur Jawa bersinar karena keberadaanmu di sisiku.Â
Keluwesanmu memudahkan diplomasi dan gerak tawarku. Kau melembutkan suasana pertemuan dengan raja-raja lokal. Di istana putih, kau membuat resepsi yang tak terlupakan bagi Sultan Cirebon.Â