Ada beberapa factor yang menjelaskan bagaimana perempuan dapat berperan aktif dalam tindakan terorisme. faktor pertama adalah ISIS atau kelompok radikal lainnya tidak bisa menggunakan kekuatan laki-laki untuk melakukan perilaku ekstremis. Karena itu, mereka memobilisasi perempuan. Pada 1980-an, kelompok ekstremis di Indonesia juga melarang perempuan melakukan aksi teror. Namun, kondisi terburuk yang diderita ISIS belakangan ini telah mengubah penyebaran ekstremisme. Faktor kedua adalah kekuatan wanita yang sudah memiliki banyak hal. Wanita dalam kelompok ini kuat dan suka berperang.Â
Dengan kekalahan ISIS, semakin berkembang momentum permusuhan mereka. Selama bertahun-tahun, perempuan dalam kelompok ekstremis telah menerapkan doktrin di lembaga mereka, termasuk di bidang keluarga. Doktrin ekstremis dalam keluarga sebenarnya tidak diturunkan dari ayah mereka, tapi dari ibu ke anak. Faktor ketiga terkait dengan perkembangan teknologi digital, dimana kelompok ekstremis menggunakan media sosial.Â
Menurutnya, keberadaan media sosial telah mengubah wajah perekrutan anggotanya untuk menyebarkan terorisme di Indonesia. Saat ini proses aktivisme berlangsung dengan berbagai cara, salah satunya adalah media sosial. Konten ekstremis didistribusikan di media sosial dan dapat diunduh dengan mudah.Â
Selain itu, guna memperkuat pandangan ideologis yang dibawa oleh kelompok ekstremis, Anda bisa menyimaknya melalui ceramah karakter di media sosial.dan yang terakhir Faktor keempat dalam melibatkan perempuan adalah tidak adanya perspektif gender dalam mencegah aksi terorisme.Â
Ia menilai, selama ini pencegahan dan pemberantasan terorisme belum menggunakan perspektif gender, sehingga tidak dapat meredam penyebaran ideologi ekstremis. Kegagalan untuk mengarusutamakan perspektif gender akan mendorong pengarusutamaan gender sebagai strategi nasional. Jika tidak demikian, pemerintah akan terus melihat perempuan dan anak-anak ikut serta dalam aksi teror.
Mencegah perempuan agar tidak terlibat dalam pusaran terorisme bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga menjadi tugas semua aspek masyarakat. Tidak terkecuali International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Forum tersebut menerbitkan "Hasil Penelitian Toleransi dan Radikal Indonesia" (2016), yang bertujuan untuk memberikan saran kepada pemerintah untuk mencegah intoleransi dan aktivisme di Indonesia, yaitu Pencabutan perda yang mengandung aturan diskriminatif dan melanggar prinsip dasar bernegara dan berdemokrasi dengan memberikan kekhususan bagi kelompok tertentu (misalnya perempuan).Â
Pemerintah, civil society organization (CSO), akademisi dan pihak terkait berkolaborasi di tingkat nasional dan regional dalam forum untuk dapat bertukar informasi dan strategi, memperkuat kerjasama dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk mencegah kekerasan ekstremis (mencegah ekstremisme kekerasan) Aliran).Â
INFID dalam "Radicalism and Extremism in Asia; Experience, Analysis and Strategy to Prevent It" dan Regional Expert Meeting "Strengthening and Making Regional Cooperation Effective in Preventing Radicalism and Violent-Extremism", selanjutnya ada beberapa cara lain yaitu antara lain dengan menghapuskan peraturan / kebijakan daerah yang membuat perempuan menjadi terkenal, memberi perempuan ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan akses yang setara terhadap sumber daya, serta terus menciptakan narasi damai dan doktrin Islam yang sesuai serta pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil. Bekerja sama dan menunggu untuk menyusun rencana aksi strategis pencegahan kekerasan ekstrim (PVE) di forum atau ruang diskusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H