Mohon tunggu...
Ita Nisa
Ita Nisa Mohon Tunggu... Administrasi - Nulis

Mau bisa nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Tepi dan Berjasa

1 Juli 2021   23:55 Diperbarui: 2 Juli 2021   00:02 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panggilan video dijawab dan kamera depan layar telepon genggam itu menunjukkan tatapan dan wajah letih dari seorang wanita. Hijab warna abu dan pencahayaan yang kurang menjadi kombinasi yang pas untuk menyorot lingkar hitam di bawah mata wanita itu. “Halo!” sapa Ica sambil mengelap keringat di dahinya.

Ica seorang petugas kebersihan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Membersihkan ruang operasi merupakan tanggung jawabnya.

Membersihkan merupakan kegiatan yang terdengar mudah dengan kata sederhana. Namun, Ica bukan hanya membersihkan untuk menghilangkan darah-darah di lantai ruang operasi. Ia juga menyeterilkan seluruh peralatan yang telah dipakai.

“Bukan ngepel lantai doang. Saya juga bersihin alat operasi yang telah dipakai. Bersihkannya pun bukan cuma dicuci, tetapi harus disterilkan,” jawab Ica sedikit menerangkan pekerjaannya.

Di tengah pandemi yang belum usai ini, tentu menambah beban dan resiko pekerjaannya. Ia bekerja selama 8 jam di rumah sakit, bertemu dengan banyak pasien COVID-19. Rumah sakit tempat ia bekerja merupakan rumah sakit tipe B, yaitu rumah sakit rujukan jika ada pasien yang suspect maupun positif COVID-19.

Ica merupakan mereka yang di tepi, tetapi berjasa. Tidak banyak yang membicarakan perjuangan petugas kebersihan di rumah sakit di tengah situasi yang jauh dari kata selesai.

Semua berbondong-bondong menyuarakan pendapat, membuat narasi, melontarkan kalimat-kalimat semangat kepada mereka—para dokter dan perawat. Seakan lupa atau tidak peduli pada mereka—petugas kebersihan—yang turut dalam kelelahan, kepada mereka yang sebenarnya juga berjasa besar dalam memutus rantai penyebaran virus ini.

Ketika dokter dan perawat menangani pasien COVID-19 menggunakan APD. APD tersebut setelah selesai digunakan harus benar-benar ditangani agar tidak menjadi jalan bagi virus. Ini merupakan tanggung jawab besar bagi petugas kebersihan.

Menurutnya, masih ada dokter dan perawat yang abai akan APD yang sudah mereka pakai.

“Kadang kalau habis pakai APD, mereka lepas, ya, lepas saja. Ditaruh di lantai. Saya selalu sediakan tempat khusus pembuangan APD tersebut. Pernah juga ada yang lempar gitu aja sarung tangan yang habis dipakai,” jelasnya sambil tertawa getir.

Wanita ini mengaku tidak sakit hati dengan perlakuan dokter dan perawat yang sembarangan melepas APD dan tidak membuang ke tempatnya. Ia memahami itu bagian dari pekerjaan yang tidak boleh dikeluhkan.

“Saya ngerti itu kerjaan saya. Mungkin dokter dan perawat itu juga mereka kan tahunya sudah pasti ada yang bersihin,” jawab Ica memahami.

Ia pun mengaku tidak jarang sedikit mengingatkan kepada dokter dan perawat untuk membuang APD di tempat yang sudah disediakan.

“Kadang saya bercandain dikit. Saya bilang jangan lempar-lempar sarung tangan. Itu kan tempat sampahnya dekat,” jelasnya dengan terkekeh.

Ia tidak hanya sekedar membersihkan ruang operasi dan APD bekas pakai dokter dan perawat secara biasa, tetapi ia melakukan pembersihan ekstra karena adanya kasus COVID-19 ini.

“Tahap membersihkan semuanya sudah sampai pada tahap general cleaning. Tahap itu sudah bukan hanya didisinfektan saja. Sudah di tahap paling atas dalam pembersihan. Bagi saya, dokter yang menangani pasien, sedangkan saya menangani dokter agar tidak sampai terkena atau menyebarkan virus,” jawabnya tertawa lepas.

Wanita berhijab ini pun tidak jarang mendapat perlakuan tidak mengenakan dari tamu rumah sakit tempat ia bekerja.

“Kalau ditanya sering atau jarang, pasti jawabnya sering. Saya ini kan cuma petugas kebersihan. Jujur saja sulit bagi saya mengingat hal-hal itu karena terlalu banyak hal baik yang saya lalui. Saya berfokus pada hal baik dan orang baik saja,” jawabnya dengan senyum tulus.

Ia tidak pernah mau mengingat hal yang menyakitkan hati mengenai perlakuan orang terhadap dirinya. Baginya itu semua hanya hal remeh temeh. Ia memahami di mana ia berada.

“Kami (petugas kebersihan) ini tidak bisa bicara apa pun selain kata maaf, iya, dan baik. Kami tidak punya pilihan kata lainnya,” terangnya dengan tatapan sendu.

Dengan kebesaran hatinya, ia menyemangati diri bekerja dengan situasi mencekam. Ia melakukan semua pekerjaannya bertaruh dengan kesehatan bahkan nyawanya.

“Kami berbeda karena kami mengerjakan semua ini tanpa disumpah,” jawabnya dengan rasa bangga.

Ica berkeyakinan bahwa pekerjaannya merupakan ladang pahala yang besar. Ia bersyukur atas pekerjaan dan hidupnya. (IN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun