Jangan kasitau suami ku kalau sore ini, meskipun aku sedang duduk disampingnya menemaninya membaca majalah politik favoritnya, aku sedang memikirkan lelaki itu. Lelaki yang kusebut Mantan.
•••
Aku masih ingat bagaimana aku mencampakkan lelaki itu. Begitu saja, tanpa rasa bersalah. Bagiku dia pantas menerima keputusan sepihak ku itu. Aku sudah memikirkannya matang matang. Memikirkannya saat dia tengah malam datang ke rumah kontrakanku mengantarkan obat untukku. Memikirkan keputusan itu dalam berbagai hal yang seharusnya membuatku tidak perlu mencampakkannya. Tidak. Aku tidak bisa menahannya tetap untukku.Â
Tidak dengan semua ketulusannya.Â
•••
"Disini saja, bersamaku" ditahannya tanganku, seolah bisa menahan hatiku. Tapi aku terlalu bebal. Egois.Â
Langit biru dan kupu-kupu yang berterbangan di perut ku saat pertama kali kami berjumpa perlahan memudar. Enggan ku akui, aku jenuh.Â
Ketulusannya, membuat bosan, sementara hatiku masih labil. Seperti ABG yang baru puber. Aku menginginkan tantangan, kecemburuan, sedikit pertengkaran.Â
Seperti biasanya, lelaki itu selalu tak bisa menolak keinginanku.Â
Apa kalian tau, dia tak pernah sedikitun melepaskan hatiku.
Dibiarkannya aku berkelana. Jatuh hati, patah lagi, bangkit lagi kemudian jatuh cinta lagi.Â