Ada sesuatu yang menelisik hati saya saat membaca status teman di fb ‘’bila ingat kematian, saya selalu terpikir, apakah saya sudah berguna bagi tetangga saya?’’
Lantas saya merefleksi kata tersebut pada diri sendiri. Sudahkan saya mampu menjadi seperti yang teman saya ungkapkan itu? atau bahkan berpikir hingga kesana pun saya belum mampu? Tiba-tiba saya merasa bebal dan malu pada diri sendiri. Betapa saya masih egois dan kekanak-kanakkan. Mencari kesenangan untuk diri sendiri, dan merasa paling tak berdaya saat mendapat kekusahan, sehingga tak terpikir keberadaan diri sebagai rahmatanlil’alamiin.
Kata ‘tetangga’ yang dimaksud teman saya itu tentu bukan dalam arti yang ‘sempit’ sebatas tetangga samping, depan, belakang rumah, tetapi lebih luas dari itu ‘tetangga’ samping, depan, belakang di mana dirinya berada saat itu. Saat mungkin sedang di kantor, di jalan, di pasar, di komunitas dll. Tetangga yang mencakup seorang muslim dan seorang kafir, seorang ahli ibadah dan seorang fasik, teman dan musuh, orang asing dan orang senegri, orang yang bisa memberi manfaat dan orang yang memberi madharat, orang dekat dan orang jauh serta yang paling dekat dengan rumahnya dan paling jauh.
Begitupun dengan kata ‘berguna’. Juga bukan pada tataran fisik yang mampu membantu ini membantu itu, tapi lebih pada pemikiran seberapa jauh ‘tetangga’ merasa nyaman menempatkan diri kita sebagai seseorang yang layak dimintai pertolongan saat kesulitan atau dibutuhkan.
Tidak mudah ternyata menempatkan diri menjadi manusia berguna yang ‘sesungguhnya’.  Menjadi diri yang siap dimintai pertolongan saat dibutuhkan. Dengan sukarela tanpa kata 'tapi' atau pamrih. Saya masih lebih menikmati beramal dengan kesadaran (ingin) karena ‘kemampuan’ beramal tanpa peduli butuh tidaknya tetangga dengan amal tersebut. Dan berbalik kondisnyai saat saya tidak sadar (tidak ingin) beramal lalu ada tetangga yang butuh amal saya, maka saya akan merasa terganggu. Dan dengan segera isi kepala mencari alasan kelayakkan untuk menolongnya. Bila pun pada akhirnya bersedia menolong, bisa jadi karena terpaksa, yang akhirnya akan berimplikasi pada body language yang tidak baik. Dan mungkin hal itu lah yang menjadi tetangga tidak nyaman atau jengah untuk membutuhkan saya. Semisal saat sedang asyik menonton tv tiba-tiba tetangga minta tolong ditemani pergi ke dokter. Atau pada saat tengah asyik fb-an, tiba-tiba tetangga minta tolong dipinjamkan laptop :(
Akhir pada refleksi diri karena kalimat status fb di atas, saya meyakini betapa belum mampunya saya menikmati disusahi tetangga yang jelas-jelas memberi kebaikan syurga buat saya. Dan betapa pula saya rela sikap-sikap saya dikendalikan mata kasat yang jelas bersifat fana dan mengabaikan mata hati yang bernilai abadi.
Duh, tetanggaku (dimanapun) mohon maaf lahir bathin.. (T_T)
Referensi Al-Qur’an & Hadits:
Allah Ta'ala berfirman:
"Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya-mu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri". [An-Nisaa : 36]
Al-Imam Al-Qurthubi di dalam Al-Jami' li ahkam Al-Qur'an (5/183) berkata : "Adapun tetangga, maka Allah Ta'ala telah memerintahkan untuk memeliharanya, menunaikan haknya, dan berpesan untuk memelihara tanggungannya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Bukankah kamu melihat Allah Ta'ala menguatkan penyebutan tetangga setelah dua orang ibu bapak dan karib kerabat. Allah Ta'ala berfirman.