Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Kompasianer

“...aku menulis bisa jadi karena kedukaan-ku, atau ..mungkin juga akibat kesukaan-ku...”

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Kiat Menulis] Rasa Malu: Adakah yang Membutuhkannya?

30 September 2023   18:54 Diperbarui: 1 Oktober 2023   05:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ada batas terang antara malu dan memalukan. Jika kita telisik sekilas kamus Bahasa Inggris, maka verba/ kata dari shy dan ashamed, cukup bersentuhan maknanya, namun siratannya bahkan dapat saling berlawanan.
Kata 'shy' lebih bersifat netral-positif, seperti:
"You shouldn't be shy", yang bisa diartikan sebagai "Jangan malu-malu".
Sedangkan nuansa negatif atas kata  ashamed sebagai berikut:
"You should be ashamed of yourself!"
bermakna kurang mengenakkan yakni "Seharusnya engkau malu dengan (perbuatan) dirimu".
 
Tidak demikian halnya dengan tanaman perdu liar - si putri malu (Mimosa pudica). Ia menggeneralisasi semua
nawaitu penyentuhnya. Disengaja ataupun tak disengaja, ia akan segera menguncupkan helai-helai daunnya, menutup diri pasca-rangsangan.

Keterikatan 'malu' dan 'memalukan' juga
memiliki keterkebalikan arah: tanpa rasa risih (shy), perilaku seseorang akan mengarah pada satu perihal yang nista (ashamed).

Demikian pula sebaliknya, jika mudah merasa malu (shy), terutama di depan Penciptanya, maka sang insan ini pun jarang-jarang berani membuahkan perilaku yang membuat aib (ashamed) dirinya dan komunitasnya.

Dalam kaitannya dengan dunia kepenulisan, munculnya rasa enggan karena malu hati, acap membayangi bahkan mampu mengelupaskan itikad awal penulis baru.

Di sini, rasa kikuk tersebut justru harus kita abaikan, dan menyubstitusinya dengan pengakumulasian keberanian demi kebenaran.

Kendati lamat-lamat, namun dengan optimisme tanpa henti, calon penulis akan mampu terlepas dari jebakan rasa enggan akibat malu.
Karenanya, hasil tulisan awal sepatutnya kita hargai sebagai suatu trofi atas tekad dan nyali dalam melahirkan karya.

Hingga di ujung jalan inilah kita berpasrah saja, tanpa sikap bias dan ambigu: antara ingin dikerumuni  pembaca atau sekadar menyalurkan hasrat kepenulisan.

Tulisan memang bisa menjadi 'merek' dari penulisnya. Meski demikian, untuk pemula - syukurlah - belum berkewajiban memasuki tahapan mematri daya pukau tersebut.

Garis merahnya adalah bahwa untuk tahap dini, tulisan kita tak perlu tampak 'bagus', yg penting eksistensi kelanjutannya langgeng terus.

Referensi:
Goenawan Mohamad, "Sang Pengarang", Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 7 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun