1. Juvenal, penyair Romawi abad kedua, bersyair satire,"Rara avis in terris nigroque simillima cygno".
Kira-kira jika diterjemahkan secara bebas, satir tersebut berbunyi :
"Di dunia ini hanya ada angsa putih (sejauh yang diketahui/ penglihatan manusia saat itu), tetapi mungkin saja ada terdapat angsa hitam, dan kalau pun ada, maka angsa hitam tersebut merupakan hewan (burung / unggas) yang langka",
2. Kemudian, Willem de Vlamingh, seorang penjelajah Belanda menemukan angsa hitam di habitatnya di Sungai Swan, Perth, Australia (1697), maka orang-orang pun baru percaya bahwa angsa hitam ternyata bukanlah sekadar mitos belaka.
3. Selanjutnya, Nassim Nicholas Taleb, seorang pakar matematika statistika Amerika Serikat berdarah Lebanon, mengembangkan teori "Black Swan" lebih jauh, lewat bukunya "Black Swan" (2007).
Secara khusus Taleb mendeskripsikan tiga karakter utama dari Black Swan ini, yakni:
- 1. Peristiwanya di luar nalar
- 2. Efeknya ekstrim
- 3. Pasca peristiwanya - melalui proses restropeksi -- kejadian tersebut, menjadi berbalik, yakni mudah dipahami dengan nalar
Namun agaknya, besaran efek angsa hitam ini bisa mencakup hanya skala nasional, regional, atau bahkan global. Juga, anggapan terjadi atau tidaknya dari Black Swan ini tergantung dari perbedaan sudut pandang setiap bangsa/ penduduk, juga tergantung pada sisi (angle) observasi.
Berpijak dari perbedaan-perbedaan tersebut, maka tak heran jika para ekonom memiliki sudut pandang yang berlainan dalam memandang suatu fenomena angsa hitam: ia bisa dianggap benar-benar Black Swan, atau sekadar 'Grey Swan' (meragukan), atau bahkan 'White Swan' (normal) belaka.
P e n u t u p
Di awal peristiwa Black Swan, sang angsa hitam hanya dianggap kejanggalan.
Maka, dari yang dianggap tidak ada, ternyata menjadi ada. Dari yang dianggap mustahil, menjadi realisasi yang tak nihil.