Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Fun and Fine

Seorang Kompasioner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengenaan Tarif Karbon (Carbon Fee) untuk Impor Beremisi Tinggi

5 Desember 2022   10:46 Diperbarui: 5 Desember 2022   11:15 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengenaan Tarif Karbon (carbon fee) untuk impor beremisi tinggi

DUNIA membutuhkan penurunan emisi secara signifikan, yang seharusnya dilakukan seawal mungkin...

Seluruh makhluk di hidup di muka bumi ini membutuhkan udara bersih, lingkungan hidup yang sehat demi melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi dalam melakukan aktivitas ekonominya sehari-hari, manusia cenderung merusak bumi dan isinya, termasuk udara. Problem lingkungan tampaknya akan semakin memburuk pada tahun-tahun mendatang, jika dibiarkan terus tanpa pengawalan.

Kini kiita pun mulai peka dan 'melek' (aware/ alert) akan masalah perubahan iklim. Dimulai dari isu efek rumah kaca global, perubahan iklim, menjadi krisis iklim, hingga berkembang menjadi masalah keadilan iklim.

Aksi iklim pun diperkuat dengan bentuk kerja sama lintas negara karena masalah ini tak mengenal batas selama di bawah atap langit yang sama.

Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, amat mendambakan emisi karbon seminimal mungkin dalam aktivitas perekonomian (proses produksi) dunia. Berbagai upaya pun mulai dirintis dalam mempersiapkan solusinya, untuk rentang dekade-dekade mendatang, hingga mencapai net-zero emissions pada tahun 2050.

Misalnya negara G7 (Group of Seven countries) telah membentuk semacam aliansi negara, yang mengangankan manfaat dari perdagangan internasional, asalkan mereka mencapai 'standar lingkungan' tertentu, yakni suatu standar yang bersahabat/ ramah lingkungan dan menghindari proses produksi yang berpolusi tinggi. Suatu multi-benefit yang diinginkan oleh semua pihak.

Demikian pula dengan Indonesia. Inisisasi skema seperti yang terpantik di pertemuan G20 yang baru lalu yakni pendanaan kemitraan transisi energi internasional yang adil atau Just Energy Transision Partnership (JETP) turut membuka jalan (paving the way) untuk memproduksi barang ekspor rendah emisi, misalnya. Akronim 'Just' pada singkatan JETP tersebut bukan diartikan 'hanya' (Just), melainkan 'keadilan' (Justice). Kira-kira begitu ya.

Wacana dan ikhtiar terbaru yang digulirkan oleh negara adikuasa sekaligus 'panutan dunia (Amerika Serikat), bersama negara-negara Eropa (EU), yakni berupa penerapan tarif karbon (carbon fee) yang tinggi untuk impor barang-barang yang dalam proses produksinya menghasilkan emisi (polusi udara) yang cukup rawan tingkatannya (high-emitting goods). Mereka akan membatasi secara ketat impor mereka, misalnya terhadap produk besi baja (steel) dan aluminium dari Asia, juga negara produsen lainnya, jika negara pengimpor enggan memenuhi standar-standar emisi.

Sebagai negara yang tengah gencar membangun, dan meningkatkan nilai ekspor kita, maka selayaknya jika kita merasa khawatir dan mempertimbangkan akan imbas tarif karbon yang diterapkan oleh negara-negara maju, terhadap daya saing (competitiveness) barang produk/ komoditas ekspor kita. Tak bijak jika kita terus-menerus tak mengindahkan proses produksi yang abai lingkungan (berpolusi, menghasilkan karbon tinggi).

PENUTUP

Isu perubahan, krisis, dan keadilan iklim menyadarkan kita bahwa kini udara bersih, menjadi salah satu kebutuhan mendasar manusia, setara halnya dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Tak ayal, di masa depan, perdagangan internasional akan menyertakan persyaratan atas penggunaan energi bersih non-fosil (clean energy), dalam setiap transaksi dengan partner dagangnya. Salah satu implementasinya adalah penerapan tarif karbon, yang mau tak mau akan didukung WTO dan politik luar negeri berbagai negara.

Motivasi transaksi perdagangan internasional (berupa ekspor-impor), ternyata kini bukan hanya urusan ekonomi ('cuan') belaka, namun akan lebih mulia lagi, yakni membangun mekanisme baru kerja sama lintas negara demi merawat kesehatan bumi dan seisinya.

dokumen pribadi/dokpri
dokumen pribadi/dokpri

Ah, andai kita mampu menerawang langit dengan non kasat mata, tanpa penerapan clean energy, ekonomi hijau, mungkin kita akan melihat gunungan sampah bergumpal di atas sana-sini, lebih luas dari Bantar Gebang tentunya, saputan langit yang kotor, dan awan yang jorok, di mana udaranya terpaksa kita hirup tiap detiknya..

Kita tidak mau seperti itu, bukan...

Sumber: https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/2022/12/america-landmark-climate-law-bordoff

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun