Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Kompasianer

“...aku menulis bisa jadi karena kedukaan-ku, atau ..mungkin juga akibat kesukaan-ku...”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Gado-Gado Gaduh: Sebuah Analogi Demonstrasi Massa

16 September 2022   17:22 Diperbarui: 30 September 2022   11:19 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

---

Ketika saus kacang atau sambal gado-gado dituangkan di atas wadah, terinfiltrasi merata ke setiap pori sayuran yang teracik di dalamnya, dan kemudian dilengkapi dengan taburan bawang goreng, maka selesai sudah penyajian hidangan bernama gado-gado, yakni satu jenis makanan khas Betawi. Hidangan  yang cukup mudah dibuat dan murah ini umum ditemui, dari 'sekelas' warung mpok Betawi hingga hotel berbintang.

Di luar negeri kreasi resep mutakhir makanan ini cukup dikenal, dengan nama keren: 'mixed vegetables with spicy peanut sauce'.

Terasa nikmat penganan yang penuh kandungan protein nabati tersebut, apalagi jika disantap bersama. Itu seharusnya. Namun bisa saja berubah nuansa guyub tersebut, ketika unsur selera per individual terlalu diperturutkan. 

Indra pencecap kemudian disadari bersifat begitu relatif, tidak absolut, sehingga ada sekelompok pengkonsumsinya yang tidak menyukai level kepedasan tertentu, atau mempermasalahkan tingkat rasa asin, manis, dan sebagainya, yang berujung pada penilaian kepuasan.

Apabila diperturutkan lebih jauh lagi, jenis sayuran pun akan ditunjuk sebagai penghilang rasa kesedapan gado-gado, misalnya saja sayur pare (paria) yang pahit, rajangan kol yang tidak disukai, kentang, kacang panjang, rebusan kangkung , tauge yang terlalu layu, ataupun cacahan mentimun segar namun hambar.

Lauk tambahannya (topping) berkontribusi untuk dikritisi juga, misalnya telur rebus, dan potongan tempe tahu goreng. Bahkan, terasi pun dinilai  memprovokasi jika keadaan sudah seperti ini.

Suasana gaduh tak terelakkan ketika individu per individu terlalu memperturutkan kata hati, maupun rasa dan selera menurut kata lidah.

Walhasil , akan nihil-lah rasa kebersamaan.

Analogi di atas mungkin sedikit banyak bisa mengilustrasikan situasi di negeri tercinta kita.

Sepanjang tahun ini, terjadi serentetan peristiwa berbias negatif di Indonesia. Ihwal geger minyak untuk memasak (minyak goreng) berentetan dengan minyak untuk bahan bakar (BBM) yang melonjak sengit. 

Tidak berhenti di situ saja, masyarakat disuguhi pula beberapa tontonan drama elite tak etis, bertabur penyangkalan, atau bahkan berita mutasi dan mutilasi yang menyesakkan sanubari.

Problematika bangsa semakin diuji, kala ruang digital nasional terobrak-abrik, ketika amanah mahadata tak tertahan dikhianati, disebarluaskan.

Syak wasangka pun menjadi merebak berkelanjutan, terekayasa, menihilkan separuh kepercayaan atas kata-kata para penganjur maupun para pejabat.

Di sisi lain, apa daya, inflasi memang tengah merajalela, baik pada skala nasional maupun global, sedangkan kenaikan tingkat upah masih dipertanyakan.

Masalah biaya hidup bukan perihal melodrama yang bisa ditawar, maka meruyaklah sudah keresahan rakyat yang pedih dan tertatih, memarakkan demo di jalanan di berbagai daerah.

Tak heran jika pendemo seakan abai dengan bekal-bekal pertimbangan nalar. Mengekspresikan permasalahan dengan cara yang tidak baik adalah suatu ketidakbaikan itu sendiri. 

Ronde demi ronde, terjadi keriuhan massa di sana-sini, dalam ketidakpastian. Mestinya aksi ini jangan sampai menduplikasi saat-saat yang sudah-sudah, yakni ketika amarah mampu menenggelamkan rasa cinta kasih sesama.

Sepatutnya demi pencegahannya, diperlukan keberpihakan kepada golongan masyarakat tertentu, terutama yang terimbas oleh strategi para pengambil kebijakan tersebut. 

Karena penyangkalan pada fakta yang inheren dengan kehidupan sosial ekonomi di masa depan, seperti pertambahan jumlah orang yang diproyeksi akan berjatuhan di bawah garis kemiskinan, hanya akan mengundang kerawanan belaka.

Seyogianya, niat dan kesiapan para pengayom dalam memitigasi risiko agar tanpa aberasi, seperti janji distribusi bansos yang tepat sasaran, diharapkan bukan sekadar gula-gula semata, ataupun penahan rasa/ beban sementara.

Tanda bakalan dari maladministrasi sebaiknya diidentifikasi semenjak awal. Rintangan ego sektoral diterobos, sedangkan konflik kepentingan diterabas.                   

Sedangkan bagi kelompok yang beroleh ketepatan rasa dari gado-gado sehingga tak gaduh dalam menikmatinya, tak seharusnya tanpa tepo saliro melahap dengan kalap, hingga bersikap abai.

Dengan demikian, ketakutan dan kekalutan publik pun tersublimasi menjadi kekuatan.

Bersama-sama, semua golongan hendaknya menjadikan momen ini sebagai momentum pengkoreksian diri, mempertajam kearifan rasa 'campur sari' dari gado-gado, yakni peleburan beragamnya campuran sayuran menjadi satu, merombak selera yang sesat menjadi tepat. Benarlah sekiranya bahwa 'gado-gado' memang bukanlah 'beda-beda'.

Semoga lekas kembali pulih  bangsa dan negeri tercinta ini, agar semua pihak menyegerakan diri untuk bekerja sama mengoptimalkan semua potensi demi meraih kemaslahatan bersama. Maka seluruh rakyat pun, segala entitas, dapat menikmati kue pembangunan secara inklusif dan setara.

-----------

Ilustrasi

"Antisipasi Kluster Demonstrasi, Perluas Identifikasi dan Pemeriksaan". kompas.id. 14 Oktober 2020.

Catatan:

Bansos: bantuan sosial

BBM: Bahan Bakar Minyak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun