Sepanjang tahun ini, terjadi serentetan peristiwa berbias negatif di Indonesia. Ihwal geger minyak untuk memasak (minyak goreng) berentetan dengan minyak untuk bahan bakar (BBM) yang melonjak sengit.
Tidak berhenti di situ saja, masyarakat disuguhi pula beberapa tontonan drama elite tak etis, bertabur penyangkalan, atau bahkan berita mutasi dan mutilasi yang menyesakkan sanubari.
Problematika bangsa semakin diuji, kala ruang digital nasional terobrak-abrik, ketika amanah mahadata tak tertahan dikhianati, disebarluaskan.
Syak wasangka pun menjadi merebak berkelanjutan, terekayasa, menihilkan separuh kepercayaan atas kata-kata para penganjur maupun para pejabat.
Di sisi lain, apa daya, inflasi memang tengah merajalela, baik pada skala nasional maupun global, sedangkan kenaikan tingkat upah masih dipertanyakan.
Masalah biaya hidup bukan perihal melodrama yang bisa ditawar, maka meruyaklah sudah keresahan rakyat yang pedih dan tertatih, memarakkan demo di jalanan di berbagai daerah.
Tak heran jika pendemo seakan abai dengan bekal-bekal pertimbangan nalar. Mengekspresikan permasalahan dengan cara yang tidak baik adalah suatu ketidakbaikan itu sendiri.
Ronde demi ronde, terjadi keriuhan massa di sana-sini, dalam ketidakpastian. Mestinya aksi ini jangan sampai menduplikasi saat-saat yang sudah-sudah, yakni ketika amarah mampu menenggelamkan rasa cinta kasih sesama.
Sepatutnya demi pencegahannya, diperlukan keberpihakan kepada golongan masyarakat tertentu, terutama yang terimbas oleh strategi para pengambil kebijakan tersebut.
Karena penyangkalan pada fakta yang inheren dengan kehidupan sosial ekonomi di masa depan, seperti pertambahan jumlah orang yang diproyeksi akan berjatuhan di bawah garis kemiskinan, hanya akan mengundang kerawanan belaka.
Seyogianya, niat dan kesiapan para pengayom dalam memitigasi risiko agar tanpa aberasi, seperti janji distribusi bansos yang tepat sasaran, diharapkan bukan sekadar gula-gula semata, ataupun penahan rasa/ beban sementara.