Sang waktu adalah tabib ajaib yang dapat menyembuhkan hampir segala luka hati. Terbukti, perasaanku berangsur membaik, seiring berjalannya masa. Hari-hari ini aku lebih banyak bersenandung.
Di penghujung bulan September, kuputuskan mengunjungi sahabat lamaku, Dila. Ia yang paling terakhir namun juga yang paling wajib menjadi tempat curhat-ku. Tak heran, ia jugalah yang paling gencar dan tak lelah untuk mengajakku kembali ke bangku kuliah, menyelesaikannya, yang kemudian menerapkan ilmu, alias bekerja di dunia nyata, alih-alih menenggelamkan diri ke dalam emosi tak tentu arah.
Kedatanganku disambut Dila dengan pelukan hangat dan ekspresi bersemangat. Bibi Rus, asisten rumah tangga yang sudah bekerja cukup lama pada keluarga Dila, bahkan ikut menyalamiku, walau sambil mengempit kemoceng.
Aku dan sobatku itu mulai berbincang ramai, menepis rindu, saling menyebarkan rasa suka ria yang tidak disembunyi-sembunyikan.
Membutuhkan udara segar, aku dan Dila memutuskan untuk keluar untuk berkendara sebentar, sekalian mencari kebutuhan Dila ke toko buku.
Mobil Dila melaju, berbaur sigap dengan kendaraan lainnya. Saat lampu merah, di satu jalan utama yang paling ramai kurasa, orang-orang menyeberangi zebra cross di depan kami dengan bergegas, tanpa mengindahkan satu sama lainnya. Begitu sibuk.
Perhatianku tertuju pada para pejalan kaki yang bergerak di sepanjang jalur pedestrian. Mereka mengenakan masker berwarna-warni dengan model beragam, dan juga gerakan mereka tampak seragam. Semua kelihatan normal saja, walau aku yakin jauh di lubuk hati mereka memiliki problematika kehidupan masing-masing.
Sambil menyetir, Dila bercerita panjang lebar mengenai situasi terkini kampus kami.
Di suatu putaran jalan berbentuk U, mobil-mobil merapat tersendat, Dina mengulurkan selembar uang dua ribuan, memberikannya pada 'pak ogah' dengan pamrih agar mobil kami dipandu dan dibukakan jalan, lepas dari kemacetan.
"Kau tahu, apa yang ia cari?" tanya Dila sambil menganggukkan dagunya ke arah pak ogah tersebut. "Ia dan teman-temannya mencari sesuap nasi, makanan... sebagai kebutuhan primer. Sedangkan kamu sekarang cengeng, tenggelam dalam kesedihan, menangisi apa.. nopol cantik?" ujar Dina dengan nada tinggi, setengah bercanda, namun membersitkan sindiran pedas padaku. Seruannya itu menderingkan lonceng alarm rasaku.
Seusai berbelanja, yang tidak memakan waktu banyak, kami tiba kembali di rumah Dila. Ia langsung mengatur dengan apik, alat-alat tulis, buku, dan beberapa benda yang baru dibelinya, di meja belajarnya. Sesekali ia menatapku, dan juga mengecek ponselnya.
Aku duduk memandangi kesibukannya dan sesaat memutuskan untuk tidak memperbincangkan lebih dalam lagi permasalahan ini. Pening melanda kepala dan perasaanku seakan terjun bebas.
Seperti yang kuduga, begitu usai dengan pekerjaannya Dila melanjutkan kepeduliannya padaku, dengan terus mendesakku untuk melanjutkan kembali kuliahku, dan bersosialisasi lagi kembali dengan kawan-kawan sebaya.
Aku melontarkan pandangan tak berdaya kepadanya, namun Dila sengaja memalingkan muka.
Dila mengabaikan kekhawatiranku dan berujar lebih lanjut,"Kurasa sekarang engkau cukup kuat untuk mengakui bahwa semua perasanmu itu .. betapa rapuhnya.."
Perlahan, kunikmati kebenaran kata-katanya, yang menghujam segala rasa kecewa dan dukaku, bersama aliran kalimatnya.
"Papamu pasti akan merasa bangga," demikian bincangnya dengan sederhana, namun penuh desakan.
Sesaat kata-kata papa yang mirip dengan ucapannya itu, kembali terngiang.
"Jangan sampai menyesal, Na," Dila menyadarkan lamunanku. "Karena penyesalan itu adalah suatu hasil akhir yang sama rasanya, yaitu pahit..., walau sumber atau penyebabnya berbeda-beda."
Untuk pertama kalinya, aku tersenyum. Dila menepuk bahuku seakan tanggap.
Bi Rus yang mengenakan daster batik biru mengetuk pintu, masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan dan menyuguhkan kudapan buat kami berdua.
Gejolak hatiku mereda, beradaptasi, lalu merdeka untuk menimbang, saat kami menikmati es kelapa muda yang telah diberi perasan jeruk lemon. Sepiring singkong goreng bertabur keju, yang terasa lunak di dalamnya, namun di pinggiran luarnya tetap renyah untuk dikunyah, turut menambah semaraknya suatu keakraban dan persahabatan.
Aku mengalah pada kebenaran dan berniat untuk melangkah lagi. Akan kutempuh jalan yang mungkin tak mudah - atas dasar kemauanku sendiri demi masa depan - dan juga asal dapat menjadikan papa tersenyum bahagia. Akan kuayunkan langkah dengan hati-hati tentunya, untuk menghindari kembalinya rasa sakitku.
Saat ada satu kesalahan dalam hidup, kini kupahami bahwa kepada Dia dan mereka yang tercintalah, mata ini memandang.
- T a m a t -
Catatan:
Curhat: curahan hati (menceritakan isi hati pada seseorang)
'Pak ogah' : pemuda/ pria dewasa yang mengharap imbalan uang seikhlasnya karena membantu mengatur agar mobil kita bisa melaju, biasanya ketika pada belokan U, memutar, atau kondisi macet; secara umum juga disebut sebagai 'Polisi Cepek'
Nopol : singkatan dari nomor polisi atau lebih resmi lagi disebut TNKB (Tanda Nomor Kendaraan Bermotor) atau juga disebut pelat nomer yang berupa susunan angka dan atau tanpa huruf yang tertera pada plat mobil
Nomer cantik : kombinasi digit yang mudah diingat dan dapat dikustom sesuai keinginan pengguna
Ponsel : telepon selular ; HP (Handphone)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H