Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Fun and Fine

Seorang Kompasioner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Tinggal, Nopol Cantikku... (3)

28 Oktober 2021   11:30 Diperbarui: 28 Oktober 2021   11:46 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teh Uwuh  (Dokumen Pribadi)

Tidak heran, memang semenjak aku mengenalnya, Reza adalah seseorang yang ingin menjadi seorang yang bersahaja, namun juga bergaya.  Spontan dan jujur.

          Waktunya mencari harapan keajaiban yang lain.

         Kepada bulik yang cukup dekat dengan para keponakannya, kuputuskan untuk bertanya, meminta pendapatnya dalam upaya mengurai kemacetan pikiranku. Di depanku terhidang secangkir minuman antioksidan, teh uwuh nan nikmat, berdampingan dengan serabi Solo yang paten legendaris Notosuman dan telah merambah kemana-mana. Camilan berupa kue basah tradisional bertekstur lembut itu sukses beradaptasi dengan tuntutan kekinian, hingga mampu berlanjut keeksistensiannya. Topping-nya kini bukan hanya areh - santan kental gurih dan manis - namun juga bisa berupa keju, coklat, nangka, dan juga lainnya. Mungkin saja, dibubuhi daging buah durian suatu saat nanti. Legitnya serabi Solo tidak membutuhkan kinca lagi. Kujumput satu buah kue berbentuk bulat pipih itu dan kulahap perlahan. Sesesap ramuan teh uwuh turut membantu mengangkat indra pencecap.

Di depanku, bulik mengibaskan segala ambigu dengan kalimat spontannya,"Sudahlah Ina, enggak perlu yang begitu-begitu."

       Istilah 'yang begitu-begitu' berimplikasi sebagai 'sesuatu yang neko-neko' alias sok-sokan, dikaitkan dengan kelaziman dari pengguna nomor cantik untuk pelat mobilnya biasanya adalah para selebriti, atau orang-orang VIP. Tidak selalu. Acap kali keeksentrikan seseorang, eksistensi diri, juga disalahartikankan dan diberi stigma sok-sokan alias snob. Sedangkan bagiku, semua ini semata hanya elemen emosi yang bermain di atas momen indah masa lalu yang ingin terus kudekap.

           Alih-alih fokus membahas nomer plat mobil papa, bulik justru balik mengingatkan tentang substansi yang lebih penting, yakni agar aku tak melupakan untuk mencari jodoh. Ia bahkan tampak berusaha memberikan pemahaman padaku - seakan dititipi pesan sponsor dari papa - bahwa papa sangat memikirkan kepentingan masa depan gadisnya satu-satunya di dunia ini. Maka jelaslah adanya desakan agar aku segera mengambil langkah yang lebih urgen: menikah!

          Aku menggeleng perlahan dalam diam, meneriakkan keprihatinan, tak sanggup menyaksikan papa hidup dalam kesendirian nantinya. Aku tak rela jika papa harus menyembunyikan kebahagiaannya sendiri demi memberikan peluang kepadaku. Alangkah... Bukankan kehidupan tanpa napas, menjadikan sesuatunya berubah sebagai kehampaan?

        Fatwa bulik selanjutnya, seakan tanpa mengindahkan perubahan ekspresi wajahku, adalah mengenai syarat dan kualifikasi seorang jodoh yang 'baik', rupawan rohaninya, dan bukan hanya jasmaninya belaka. Petuahnya begitu sarat pertimbangan bijaksana-bijaksini.

       Pada beberapa jeda, kututupi kekosongan kata-kata respon dariku dengan menyesap teh uwuh, yang ternyata mampu sedikit menekan rasa tak enak yang membekuk sanubari. Daun-daun pohon mangga bergoyang genit, melambai dari balik jendela sana.

      Ah.. mengapa jadi begini, dari permasalahan nopol cantik, kok malahan memunculkan pembahasan jodoh ganteng?

       Kupikir-pikir, boleh jadi ketidaktahuan adalah lebih baik buatku, agar lebih simpel dan ringanlah hidup ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun