Walau masih dalam suasana berlebaran nan berlimpah kegembiraan sekaligus keharuan, namun para insan yang merayakannya terus diingatkan agar tetap selalu dalam kondisi mawas diri (aware).
Karena, ketika di dalam kesucian Idul Fitri ini segala jenis noda dosa dapat dimohonkan seketika supaya dibasuh bersih, namun tidak otomatis berlaku untuk cobaan pandemi COVID-19, yang belum juga ditakdirkan diangkat dari permukaan bumi kita hingga saat ini.
Sejatinya memang benar umat Islam baru saja usai melawan hawa nafsu dalam dirinya sendiri selama melaksanakan ibadah puasa yang telah lalu, tetapi umat manusia masih terus dalam suasana berperang melawan Covid 19 - sang musuh yang tak tampak ini.
Sejak dua tahun lalu nyaris semua media sosial dan media masa, kabar dan ulasan bertopik makhluk nanometer bernama Covid 19 plus perkembangan vaksinasinya, terus meruah tanpa henti.
Salah satu makhluk nanometer ciptaanNya yang bernama Covid 19 ini ditengarai berasal dari Wuhan (Cina), yang penyebarannya dalam sekejap mampu meluluhlantakkan hampir semua sendi kehidupan manusia.
Kita masih ingat ketika kejadian pertamanya ditemukan, begitu menggemparkan, sekaligus menakutkan, mencengkeram seluruh keberanian manusia.
Seakan film horor, ataupun zombie yang berkeliaran di jalan, orang-orang begitu takut berdekatan dengan sesamanya sendiri. Pandemi yang dimulai semenjak sekitar Tahun Baru Cina 2000 itu menjadi cobaan bagi semua bangsa yang terbuka sistem ekonomi dan sosialnya di dunia ini, tanpa memandang ras dan agama.
Perekonomian global merosot tanpa tahu pasti batasannya - yang secara sederhana diilustrasikan berupa kurva PPC/ PPF yang terkontraksi (gambar 1).
Mewujudkan karakter pandemi ini sebagai The Black Swan, yakni peristiwa langka yang memiliki dampak luar biasa dahsyat, tanpa diperkirakan sebelumnya. Akibatnya, total jumlah barang jasa yang seharusnya dapat diproduksi mengalami penurunan hampir di seluruh negara.
Cobaan, cobaan..
Manusia bersahut-sahutan dalam segala bentuk komunikasinya, baik secara privat langsung kepada penciptaNya dengan berlomba memohon agar pandemi segera diangkat dari permukaan bumi ini (Amin), ataupun sekadar mencurahkan kegelisahan kepada karib kerabatnya, secara lisan/ tulisan, meratapi dan menangisi cobaan berbentuk penyakit menular ini.
Akan tetapi sejalan dengan waktu, kejenuhan pun mulai melanda, sehingga rasa gentar berbalik menjadi rasa bosan pada aturan pembatasan yang mendikte perilaku manusia, terkait ancaman virus tersebut.
Ini tercermin pada Hari Lebaran kemarin, kala fenomena mudik kembali melanda di Indonesia sebagai tradisi yang jamak bagi kaum migran, kaum urban, dan diaspora.
Kesepakatan bahwa hari Raya menjadi even pertemuan kembali sanak keluarga yang tercerai berai dalam mencari nafkahnya, menjadikan kampung kelahiran sebagai meeting point untuk melepaskan diri sesaat, dari segala urusan pekerjaan di kota selama setahun.
Sedangkan di pihak lain, perekonomian yang tengah lunglai digebuk pagebluk membentuk Pemerintah jadi semakin ketat dan trengginas untuk terus menelurkan, menerapkan, mendisiplinkan peraturan lama maupun peraturan baru dalam mencegah penyebaran Covid-19, di antaranya yaitu tertuang dalam larangan untuk mudik.
Alasannya, mobilisasi manusia adalah salah satu faktor utama dalam penularan Covid 19. padahal mudik berarti pergerakan manusia pada saat bersamaan (peak season) dengan menggunakan berbagai alat moda transportasi.
Apalagi lebaran selalu diikuti dengan acara menyambung silaturahmi (saling bertandang ke rumah para sanak saudara) yang secara sadar dan tak sadar berarti terjadinya kerumunan.
Protokol kesehatan berupa cuci tangan, bermasker, menjaga jarak, pada even seperti ini biasanya melonggar karena berbagai alasan, seperti keakraban ataupun kepercayaan bahwa sesama anggota keluarga tidak akan saling menularkan.
Atau, sekadar ingin tertawa dan berbincang lebih bebas dan leluasa, sehingga membuka masker, misalnya. Lebaran adalah acara bersuka cita, mengapa tiba-tiba mesti dibatasi dan berjalan sudah hampir dua tahun ini?
Tak heran tentu saja, layaknya yang bernama peraturan, maka pembatasan (curfew) tersebut menuai pro dan kontra dari masyarakat. Sesaat terlupa sudah akan maut ataupun derita yang mengancam selama ini masa pandemi.
Lebaran menjadi sinar terang yang menghipnotis kunang-kunang untuk pulang, tak peduli akan terbakar apinya. Kala kewaspadaan melorot, maka pandemi ini merubah fenomena COBAAN (yang bersifat keprihatinan), menjadi lebih bersifat GODAAN (hasrat untuk melanggar).
Godaan, godaan..
Tahun ini diterapkan larangan mudik ataupun mudik bersyarat melalui aturan penyekatan, kewajiban kelengkapan surat-surat seperti Surat Izin Keluar Masuk/ SIKM, Surat Izin Perjalanan/ SIP, keterangan hasil swab) bagi pelintasbatas kawasan aglomerasi ini.
Akibatnya berbeda dengan tahun pre-pandemi (sebelum 2020), ketika Posko penjagaan di luar kota pada hari-hari besar keagamaan yang biasanya dijaga polisi lalin saja sudah dianggap memadai, kali ini Posko Penjagaan urgensi menjadi wadah kerjasama dari beberapa aparat negara dan pihak lain yang terkait.
Posko Lebaran pada umumnya didirikan di tempat-tempat strategis. Di beberapa daerah kabupaten, Posko dibangun di depan tempat pelayanan publik, seperti Rumah Sakit Umum Daerah. Personil Posko biasanya merupakan tim gabungan kerja sama antara Polisi Lalu Lintas, TNI Angkatan Darat, dan tenaga kesehatan.
Jumlah para pengabdi ini bervariasi, misalnya di salah satu kota kabupaten di Jepara, Posko Ketupat dijaga oleh 7 personil dari Kepolisian, 1 personil TNI AD, 2 orang dari ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia), 1 orang dari LinMas (Hansip), sedangkan untuk tenaga kesehatan dijaga oleh 2 perawat/ suster dan 1 dokter muda yang bertanggungjawab selama 7 jam shift kerja. Mobil dengan plat luar daerah menjadi target pemeriksaan.
Namun apa boleh buat. Hasrat pulang, kerinduan, dan ikatan emosional tanpa landasan yang logis, atau mungkin kesuntukan di pemukiman sementara (kontrakan) di kota besar tempat mereka bekerja, menjadi godaan bagi sebagian orang untuk menerobos segala palang dan halangan menuju kampung halaman.
Menerobos rintangan menjadi tantangan tersendiri, ibarat tantangan game yang harus dimenangkan, agar dapat berkumpul dengan keluarga besar di tempat asal kelahiran.
Fakta bahwa pemudik dapat membahayakan bukan hanya dirinya sendiri ini, namun juga keluarga yang dicintainya di lokasi tujuan - akibat membawa virus dalam tubuh mereka, rambut, sepatu, pakaian, atau tas - tak lagi diindahkan.
Pandemi yang dulu dipersepsikan sebagai bentuk sebuah cobaan universal, sekarang berubah menjadi godaan lokal - yang dulu terasa begitu menakutkan, kini bertransformasi menjadi satu godaan untuk keluar zona, tidak mematuhi protokol kesehatan, mengakali para petugas, dan sebagainya.
Pun pertanyaan klasik timbul kembali: akankah para pekerja urban yang berasal dari rural membawa 'armada baru' dari kampungnya masing-masing pada waktu arus baliknya ke ibu kota?
Hal ini ditengarai akan membawa kesulitan baru, sebagai pintu masuk baru bagi virus, di tengah wabah yang tidak berkesudahan ini.
Mari kita mawas diri tanpa henti dalam menerapkan protokol kesehatan, dengan penuh tanggung jawab, dan juga melaksanakan vaksinasi pada waktunya nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H