Pendahuluan
Di Indonesia, fenomena Lebaran (Hari Raya Idul Fitri) yang jatuh pada awal Syawal setiap tahunnya selalu dirayakan oleh mayoritas bangsa Indonesia, dalam bentuk pergerakan mudik secara total, masif, terpola.
'Total' artinya rata aktifitasnya terjadi secara rata menyeluruh di penjuru negeri, yang tidak tergantung dari usia, tingkat pendidikan, profesi/ pekerjaan.
'Masif' artinya cakupannya besar-besaran, yang secara ekonomi bisa diidentifikasi oleh variable Jumlah Uang Beredar / JUB, perputaran uang (velocity), beserta spillover effect-nya.
'Terpola' artinya terdapat pattern rutinitas tahunan yang tetap, arah mobilitas pemudik, dan tujuan pergerakan uang (di antaranya berasal dari gaji ke 13 ataupun THR/Tunjangan Hari Raya) dari area sentral (ibukota, kota besar provinsi) ke arah area periferal, daerah marginal, kota kecil, ataupun zona non-core (baca: kampung halaman).
Rutinitas dan ritual mudik (yang bukannya tanpa pengorbanan tersebut, baik dari segi finansil, tenaga, waktu) tetap setia digelar setiap tahunnya, seakan memang telah menjadi kesepakatan bersama yang tak terucapkan, ikrar atas ikatan silaturahmi keluarga besar.
Kewajiban mudik ini pun menjadi suatu kebutuhan bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Tulisan ini membahas hubungan mudik Lebaran dengan ketiga jenis kebutuhan manusia (primer, sekunder, dan tersier), ditinjau dengan perspektif ekonomi.
Pembahasan
Kebutuhan manusia diklasifikasikan menjadi tiga bagian, berdasarkan intensitas maslahatnya, yakni:
1. Kebutuhan Primer
Merefleksikan hajat hidup yang sangat urgen sifatnya, mau tak mau harus harus dipenuhi demi kelangsungan hidup seseorang, tak pandang bulu, dari bayi hingga usia jompo. Secara sederhana kebutuhan primer (basic needs) ini mencakup tiga hal, yakni Sandang, Pangan, dan Papan ('SPP').
2. Kebutuhan Sekunder
Kebutuhan ini timbul dan disadari seseorang, ketika yang primer ('SPP') telah 'tunai'.
Contohnya adalah pendidikan, kesehatan, HP plus juga pulsanya. Ini mengingat di era sekarang, telpon seluler telah menjadi bagian barang personal, yang wajib 'menempel' - selain pakaian tentunya - pada semua kalangan.
3. Kebutuhan Tersier
Kebutuhan yang menjadi prioritas terakhir ini, kerap pula disebut kebutuhan mewah. Barang atau jasa yang termasuk di dalamnya, biasanya hanya sebagai simbol status seseorang belaka.
Contoh: mobil mewah, gadget canggih, pariwisata luar kota atau luar negeri, dan sebagainya.
Penulis mencoba mendefinisikannya dengan menggunakan bahasa santai (tidak baku): "Butuh yang tidak butuh sih, sebenarnya."
*
Pada realitanya, karakteristik kebutuhan sekunder maupun tersier adalah relatif - bisa saling bertukar posisi - tergantung pada pendapatan individu masing-masing. Sebuah sepeda motor bisa menjadi barang mewah (kebutuhan tersier) buat si A, tetapi buat si B hanya menjadi kebutuhan sekunder, sebab memiliki mobil-lah yang menjadi kebutuhan prestise-nya (tersier). Tidak bisa disangkal, penyebab perbedaan cara pandang tersebut akibat adanya disparitas strata sosial maupun tingkat pendapatan antara kedua individu tersebut.
Jika kebutuhan prrimer bersifat mutlak, (artinya seseorang tak dapat meninggalkan pengonsumsiannya), maka kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier lebih bersifat 'relatif'.
Fakta tentang Mudik Lebaran
Mudik dapat dikategorikan sebagai perjalanan wisata, yang jelas-jelas merupakan kemewahan (kebutuhan tersier) bagi kalangan menengah ke bawah. Ditambah lagi, fakta bahwa penuaian 'komoditas' langka ini hanya setahun sekali. (Bandingkan dengan tuntutan kebutuhan primer yang wajib dipuaskan setiap harinya. Atau kebutuhan akan pulsa HP paket mingguan atau bulanan yang digolongkan pada kebutuhan sekunder).
Berdasarkan kedua faktor di atas (biaya dan waktu), mudik Lebaran ditetapkan sebagai kebutuhan tersier.
*
Namun faktanya...
1. Pengorbanan Ekonomi
Seorang penyapu jalan bahkan menjual sepeda di tempat kerjanya di Jakarta, demi menutup biaya mudik ke kampung halamannya di Boyolali. Bahkan ia berencana 'memboyong' sejumlah hadiah (amplop) untuk kerabatnya di sana. Ia juga menyisihkan untuk ongkos hidup beberapa hari di desanya, dan mempersiapkan uang untuk sedikit berjalan-jalan ke tempat wisata lokal bersama keluarganya.
Ilustrasi di atas menggambarkan kebutuhan sekunder (sepeda) yang dikorbankan demi kebutuhan tersiernya (perjalanan pariwisata mudik).
Tak jarang pada masyarakat berpendapatan sangat rendah (the haves-not), diperkirakan terjadi fenomena pencairan tabungan menjadi konsumsi.
2. Pengorbanan non-ekonomi
Mudik sebagai perisitiwa siklus tahunan, amat khas ditandai dengan sikap pasrah para pemudik walau terjebak kemacetan berjam-jam hingga berhari-hari. Termasuk orang-orang penting (the haves) yang biasanya menganut falsafah "Time is Money", kini bahkan ikhlas untuk 'wasting time', dalam bentuk mengantri, mulai dari tahap ticketing, entry, dan seterusnya. Antrian mengular ini terjadi baik di bandara udara, stasiun kereta api, pelabuhan, dan gerbang-gerbang tol.
Jangan lupa bahwa arus balik pun tak kalah berduyun-duyunnya dengan arus keberangkatan pada semua moda transportasi.
Terjadilah peak-season.
*
Berlandaskan kedua karakteristik tersebut di atas, yakni pengorbanan ekonomi (uang) maupun non-ekonomi (berupa convenience/ kemapanan hidup), maka aktifitas mudik ini pun penulis simpulkan mengalami kenaikan kelas, walau hanya berlaku untuk bulan Ramadhan -- Syawal saja.
Terjadi switching hierarki/ prioritas dari kebutuhan tersier (yang bisa ditangguhkan) menjadi kebutuhan sekunder (yang harus segera ditunaikan). Namun, sifatnya memang temporer/ sementara, karena setelah Idul Fitri maka rekreasi kembali menjadi kebutuhan tersier (luxurious) bagi kalangan tertentu (the poor).
Ada juga hal menarik yang perlu dikaji. Hipotesa sebelumnya menyatakan bahwa switching kebutuhan sekunder menjadi tersier, disebabkan oleh tinggi rendahnya tingkat pendapatan seseorang (variable ekonomi), menjadi tidak relevan disini. Pergeseran kebutuhan ini lebih disebabkan oleh tradisi/ adat (variable non-ekonomi).
PENUTUP
Secara alamiah, pergeseran atau switching dari satu urgensi kebutuhan terhadap keperluan yang lain, tak dapat disangkal kerap terjadi di hati kita. Rasio akal begitu sarat dengan konflik kepentingan. Perenungan dan koreksi diperlukan untuk kembali ke track yang benar.
***
Catatan:
Tulisan ini sudah didokumentasikan pada blog pribadi penulis https://rasi0.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H