Pendahuluan
Kontribusi komoditas karet terhadap perekonomian Indonesia telah terbukti dapat diandalkan (reliable), terutama ketika mengacu perannya sebagai komoditas ekspor. Hal ditunjukkan dengan rilis data ekspor karet alam tahun 2016 senilai US$ 3,4 milyar dengan volume/ berat produk sebesar 2,58 juta ton. Sedangkan menurut data BPS, tingkat produksinya adalah sekitar 3,2 juta ton karet alam di tahun yang sama.
Indonesia mengekspor sekitar 81% - 85% dari total hasil produksi karetnya setiap tahunnya. Ini membawa kabar baik dan kabar buruk sekaligus. Kabar baiknya adalah performa ekspor komoditas karet masih terbilang dalam kondisi prima. Kabar buruknya yakni bahwa penyerapan domestiknya amat rendah.
Volatilitas dari komoditas karet juga banyak dipengaruhi oleh kondisi global, ditinjau dari segi global dalam bentuk naik turun permintaannya, perubahan kurs, ataupun fluktuasi tingkat harganya.
Kini, komoditas bahan mentah, tidak hanya menghadapi tantangan 'hypercompetitive' namun juga dihadang oleh era protectionism yang cenderung berlanjut pada ancaman 'trade war' , yang sayangnya diinisiasi oleh negara-negara maju nan besar pasarnya (developed countries), seperti Amerika Serikat.
Di sisi yang lain, Indonesia juga memasuki tahap revolusi Industri 4.0. Selayaknya, sub-sektor perkebunan karet tak ketinggalan pula dalam berbenah, yang dilaksanakan secara proporsional oleh ketiga pihak sebagai pemilik lahan/ produsen, yakni: Perkebunan Besar Negara (Government), Perkebunan Besar Swasta (Private), dan perkebunan rakyat (smallholders).
Tulisan ini akan mencoba memetakan secara komprehensif posisi komoditas karet, baik di dalam negeri, ataupun di kancah global, dengan menggunakan beberapa alat analisa, sebagai berikut:
1. Revealed Comparative Advantage/ RCA:
Angka acuan ini berguna untuk mengethui kontribusi komoditas tertentu dari suatu negara (export share).
Untuk formula dalam bentuk sederhananya adalah: