Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Kompasianer

“...aku menulis bisa jadi karena kedukaan-ku, atau ..mungkin juga akibat kesukaan-ku...”

Selanjutnya

Tutup

Money

Kurva Penawaran: Model Sticky-Wage

8 April 2018   16:34 Diperbarui: 8 April 2018   16:43 2417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://en.wikipedia.org/wiki/Supply_(economics)

Tentu saja, tambahan pekerja inilah yang pada akhirnya memang menghasilkan produksi berlipat. Maka output pun dikatakan meningkat.

Nah, jika kedua kurva tersebut (kurva permintaan tenaga kerja dan kurva fungsi produksi) digabungkan, maka akan diperoleh kurva penawaran agregat (supply curve).

Arah pergerakan tingkat harga (sering diidentikkan dengan laju inflasi) yang berbarengan dengan tingkat output-nya ini direpresentasikan oleh arah dan besaran 'slope' dari kurva penawaran.

Arah slope yaitu mengarah ke kanan atas atau upward. Ini persis sama dengan kurva penawaran dalam mikroekonomi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Isu di atas cukup menarik, karena implementasi atas model sticky-wage masih cukup realistis pada jaman sekarang. Indikasinya adalah tingkat upah nominal yang kaku. Apa alasan upah tampaknya susah menyesuaikan, dan ogah lentur? Secara alami, ketika terjadi inflasi, seharusnya para pekerja juga meminta kenaikan gaji untuk mengimbangi barang-barang yang semakin mahal di luar sana.

Nah, ini salah satu kemungkinannya adalah akibat bargaining power yang lemah, atau belum adanya serikat/ union pekerja yang benar-benar 'bertaring' untuk menawar. Kalau pun ada amat jarang.

Namun juga perlu diingat, maraknya demo menuntut kenaikan upah pun, bukan pula merupakan ikhtiar yang bijak untuk melawan nominal wage yang terpaku kaku. Malah cenderung tidak kondusif untuk iklim usaha.

Penutup

Oya, keluar dari rel pembahasan dulu ya. Belajar dari 'pengalaman' di atas, terlihat bahwa pihak produsen jadi tertarik merekrut ketika harga tenaga kerja menjadi turun alias lebih murah. Timbul demand pada sesuatu yang tidak jual mahal.

Bagaimana ya, jika kita juga menjadikan diri ini lebih murah, eh.. tapi bukan murahan lho. Maksudnya, murah dalam arti: murah hati, murah memaafkan, murah senyum...

Apatah sulitnya, menurunkan harga kesombongan alias berendah hati agar demand pada kita pun semakin meningkat? Demand yang bukan sembarang demen , lho. Demen pada skill yang mumpuni, kepribadian yang luhur, senyum yang tulus, ... sah-sah saja sih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun