Pendahuluan
Perekonomian versi Robinson Crusoe merupakan satu alat analisa untuk memahami isu-isu dasar dari ilmu ekonomi. Kerangka analisa yang merujuk pada kisah yang ditulis oleh Daniel Defoe (1719) ini, sesungguhnya mencoba menyederhanakan realitas perekonomian yang tentunya teramat kompleks.
Baiklah, kita mulai saja berandai-andainya. Adalah pak Robin(son) yang terdampar di pulau kecil, tak berpenghuni.
Bagaimana ia akan menjalani aktifitas perekonomiannya sehari-hari dalam kondisi autarki tersebut?
Pembahasan
Kita bangun dulu asumsi dasarnya, sebagai berikut:
1. Pulau tesebut letaknya begitu terisolir, jauh dari dunia beradab, sehingga tidak bisa berinteraksi, terutama berdagang/ barter dengan individu lainnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
2. Pak Robin sebagai satu-satunya manusia di pulau itu, maka otomatis menjadi pelaku/ agen ekonomi tunggal.
3. Demikian halnya dengan komoditas yang tersedia di tempat itu: hanya ada kelapa.
Disini pak Robin akan menjalani peranan yang multifaset, yakni sebagai konsumen; dan juga sebagai produsen sekaligus. Tak pelak lagi, perilaku maupun pengambilan keputusan dari pak pak Robin pun turut terpecah menjadi dua.
I. Sebagai seorang KONSUMEN
Selayaknya manusia normal, ia akan mempertimbangkan kepuasan dirinya, berupa waktu yang semaksimal mungkin untuk bersantai alias tidak bekerja. Selama 24 jam, umumnya seseorang itu ingin bersenang-senang belaka, nyantai, rileks, tidak dikejar dead line. Akan tetapi kehidupan manusia memang bukanlah dipersembahkan kepada hedonism belaka, melainkan ia butuh bekerja, perlu makan, ingin eksistensi, dan sebagainya.
Nah, apalagi di pulau yang tidak memiliki fasilitas internet ini, walhasil bersantai di pantai sepanjang hari bukanlah pilihan bagi pak Robin, yang juga rada 'jomblo' itu (maaf, nyuwun sewu).
Permasalahannya, untuk memenuhi kebutuhan primer (makan), ia harus memetik kelapa. Nah, kehendak/ keinginan pak Robin ini bisa direpresentasikan dengan sederatan kurva-kurva indeferens. Tentu saja pak Robin akan memilih kurva tertinggi demi mencapai kepuasan paling maksimum. Perpotongan antara kurva indiferens (kesenangan) dengan kebutuhan hidup (kewajiban) yang diiidentikan dengan budget-line, menjadi titik keseimbangan pak Robin. Locus tersebut merupakan kesudian/ kemauan dari pak Robin untuk bekerja.
Disini, ia menjatuhkan pilihan untuk bekerja selama 10 jam seharinya dengan imbalan ('upah' atas mengorbankan 14 jam dari waktu santainya) berupa 10 butir kelapa.
Kalkulasi:
10 jam = 10 butir kelapa.
Artinya, pak pak Robin akan memroses 1 kelapa dalam tempo 1 jam, yakni untuk memanjat pohon kelapa, memetiknya, memungutnya, mengupasnya, mencungkil isinya, mencuci, mengeringkan/ menjemurnya (untuk dijadikan kopra sebagai bahan pangan, misalnya).
Fair enough, kan?
II. Sebagai seorang PRODUSEN
Pak Robin akan mengalkulasi bahwa si pekerja (yakni dirinya sendiri) memiliki tenaga, ketrampilan, dan waktu. Jadi sebaiknya ia dipekerjakan sebagai pemetik kelapa. Berapa lama jam kerjanya? Hmmm...sebagai boss, ia berpikir bahwa tidak baik juga untuk mempekerjakan dirinya terlalu lama. Ini akibat terdapatnya sifat Diminishing Returns dari fungsi produksi (memroses kelapa).
Artinya, semakin lama ia dipekerjakan, bukannya semakin memperoleh hasil berlimpah, malahan bisa saja makin menurun karena kelelahan fisik. Karena alasan tersebutlah, kurva fungsi produksi umumnya berbentuk konkaf (diminishing).
Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
KETERANGAN:
A = titik keseimbangan pak Robin (ekulibrium yang dipilihnya)
A = w = 10 butir kelapa
Waktu santai yang dipilih (Leisure) = 14 jam
Waktu bekerja yang dipilih = 24 jam -- 14 jam = 10 jam
Simpanannya pada saat dia tidak bekerja sama sekali (bersantai selama seharian penuh pun) = 1 butir kelapa
Sebagai bahan perbandingan, walau kalah popular dengan konsep tren diminishing return, ternyata dalam fungsi produksi juga diakui keberadaan tren Increasing (Marginal) Returns (IR)dan Constant Returns (CR).
Berikut ini gambar dan kasus dari Constant Marginal Returns to scale.
Keterangan:
A = titik keseimbangan (yang dipilih)
Waktu bersantai = 10 jam
Waktu bekerja = (24 jam -- 10 jam) 14 jam
Upah (Wage) = 14 butir kelapa
(1 kelapa per 1 jam kerja)
Kondisi CRS ini menggambarkan kestabilan jam kerja, berapa pun jam kerja ditambahkan, maka tambahan terhadap hasil upaya akan tetap. Disuruh lembur pun dijamin tidak akan mengalami penurunan hasil.
Tapi, apa betul sih, semakin lama disuruh bekerja, pekerjanya tidak mengalami kelelahan? Selain itu, agak-agak tidak manusiawi, ah.
Akibat alasan tersebutlah, logika Diminishing Marginal Returns lebih mudah diterima daripada Constant Marginal Returns.
Wah, apalagi Increasing Marginal Returns yang memiliki interpretasi : bahwa semakin lama seorang dipekerjakan, maka hasil kerjanya semakin meningkat. Hmmm...
Secara keseluruhan, penjabaran di atas mengandung 2 poin penting mengenai perilaku fundamental seseorang dalam satu perekonomian, yakni ketika ia:
I. Berperan: sebagai PRODUSEN
Bertujuan: maksimisasi profit
Berhadapan dengan:
(i). Fungsi produksi (sebagai obyek)
(ii). Iso-Profit (sebagai konstain/ pembatas)
Solusi: Marginal Product of Labor/ MP L = w
II. Berperan: sebagai KONSUMEN
Bertujuan: maksimisasi utility/ kepuasan/ kehendak individual
Berhadapan dengan:
(i). Indiffernce curves (sebagai obyek)
(ii). Budget Line (sebagai konstrain/ pembatas)
Solusi: Marginal Rate of Substitution/ MRS L,K (Leisure, Kelapa) = w
***
Oya, sekadar improvisasi nih, di dalam kehidupan sehari-hari problematika seperti ini bisa saja terjadi dalam bentuk pseudo-nya, misalnya:
- Wiraswasta atau self-entrepreneur (buka toko sendiri dan bebas untuk menentukan jam kerjanya sendiri)
- Ibu rumah tangga (baginya, memasak sendiri adalah tindakan penghematan yang menjadi upah/profit, daripada membeli makanan di luar)
- Seniman yang bebas berkreasi dan menentukan tingkat pendapatannya sendiri
Intinya, analisa ini bisa diimplementasikan buat mereka yang menjadi pekerja (employee) sekaligus majikan (employer) bagi dirinya sendiri.
Penutup
1. Dalam koridor seorang konsumen universal, sadar tak sadar kita bergerak menuruti lelaku indifferenskita, berupa sederetan bayangan cermin yang memantulkan rasa malas atau giatnya kita bekerja.
Rasa kehendak seseorang seyogyanya diapresiasi oleh imbalan yang setimpal. Tanpa upah (wage), alokasi atas waktu untuk bekerja (rajin) atau untuk bersantai (malas), akan menjadi kacau.
2. Sedangkan, pada sisi yang lain, memerani seorang produsen senantiasa akan membuat kita menghitung-hitung jumlah anugerah kesehatan, waktu, tenaga, energi, kemampuan, (fungsi produksi) dari sang raga. Tubuh sebagai budak kita dan pekerja yang akan kita arahkan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat (profit).
Upah untuk itu semua bisa diukur dengan materi dan non-materi (kepuasan batin).
***
***
Mohon maklum atas kekurangan penulis.
Tulisan ini telah didokumentasikan di blog penulis : www.rasi0.wordpress
Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H