a). Berapa besar stimulus dari Pemerintah dalam bentuk pembelanjaan atau investasi, yang semestinya dilaksanakan, demi menutup kesenjangan (deflationary/ recessionary gap) tersebut? (Opsi Pertama)
b). Berapa besar pula besar program pemotongan pajak (pada income tax, misalnya) yang sebaiknya diterapkan Pemerintah untuk menjembatani celah/ gap tersebut? (Opsi Kedua)
Gambar:
Satu benang merah yang dapat ditarik yakni pada kondisi di atas adalah multiplier dari pengeluaran pemerintah lebih besar dari multiplier pajak. Dengan demikian dampaknya terhadap capaian/ target akhir juga lebih besar.
Dengan kata lain, jika kedua multiplier ini diperbandingkan, boosting pengeluaran pemerintah akan membutuhkan 'biaya' yang lebih sedikit (hanya Ro 80 triliun) dibandingkan jika harus memotong pajak (Rp 100 triliun) untuk mencapai target yang sama (yakni mencapai GDP Rp 1.600 triliun). Ini efek kerja dari multiplier Gs yang memang lebih besar nilanya dari multiplier t.
Ini dikarenakan multiplier Gs bersifat direct injection, independen, tidak bergantung dengan variable yang lain. Sedangkan multiplier t bersifat indirect injection, bergantung dari tingkat konsumsi masyarakat .
Menarik juga, untuk di-eksplorasi lebih lanjut, misalnya tentang keseimbangan perekonomian jika berada pada keadaan inflationary gap (titik B), pada GDP sebesar Rp 1.000 triliun misalnya. Bagaimana mengimplementasikan contractionary fiscal policy dalam kondisi tersebut?
Selain dengan kuva Demand-Supply seperti pada gambar di atas, lebih advance lagi, tax multiplier ini sewajibnya dianalisa pula dengan kurva IS-LM.
***