Beberapa waktu belakangan ini, dalam dunia belanja (shopping) kerap terdengar dan terlihat promo: 'beli satu dapat dua'. Bentuk promosinya pun cukup variatif, seperti:
- Buy one get one free
- Beli satu produk, dan untuk barang yang kedua memperoleh discount 50%
Strategi pemasaran ini diharapkan menjadi obat jitu dalam mendongkrak angka penjualan. Kiat tersebut tidak hanya berlaku di dunia nyata atau di pusat-pusat perbelanjaan saja (offline) tetapi juga di dunia belanja daring (online). Cara ini sebenarnya berpotensi memicu trade war, dimana perusahaan barang sejenis juga akan menerapkan hal serupa.
Dari segi konsumen, tentu saja iklan ataupun promo sejenis ini membuat 'ngiler' para calon konsumennya.
Siapa sih yang tidak tertarik oleh iming-iming tersebut? Sedang jalan-jalan di mall, tanpa ada rencana untuk membeli barang tersebut sebelumnya, bisa jadi terpancing untuk membeli. Insting aji mumpungyang menjadi pemicu transaksi.
Nah, sekarang pertanyaannya: apakah strategi bisnis tersebut mampu mengubah pola belanja seseorang? Seperti apa bentuknya?
Fokus tulisan ini adalah menganalisa pengaruh promo 'Beli Satu Gratis Satu' ini terhadap bentuk kurva permintaan (Demand Curve) dari pihak konsumen. Hal ini direpresentasikan dari perubahan bentuk Indifference Curves (IC) sekaligus pergeserannya. IC ini mencerminkan tingkat-tingkat kepuasan konsumen (juga diidentikkan dengan Utility curve), dimana rasa puas ini bisa bergeser ke atas atau ke bawah, disesuaikan dengan naik turunnya budget (pendapatannya).
Naik turunnya pendapatan ini bukan selalu berarti seseorang dinaikkan gajinya oleh perusahaannya, tapi bisa juga diakibatkan karena harga satu produk kegemarannya yang sedang turun (diobral), misalnya. Nah, harga sebuah barang yang menjadi lebih murah, akan membuat seseorang menjadi lebih kaya dan mampu membeli barang tersebut lebih banyak walau uang di dompetnya tidak bertambah. Jadi sebenarnya, kenaikan anggaran belanjanya ini rada-rada semu belaka lho...
Ini akibat rasa sensasi harga yang turun. Logikanya adalah seseorang yang sebelumnya biasa membeli gula pasir seharga Rp 10.000 per kilo di toko. Tetapi, pagi itu ia mendapatkan harga gula pasir turun menjadi hanya Rp 5.000 perkilo di toko tersebut. Sesaat ia akan merasa uang yang dibawanya bertambah. Sehingga secara alami ia akan membeli 2 kg - daripada hanya sekilo - dengan hanya mengeluarkan uang Rp 10.000 saja. Begitu seterusnya. Ini disebut 'Efek pendapatan' yang melahirkan kurva permintaan.
Peristiwa tingkah laku pasar (market behavior) di atas bisa diilustrasikan sebagai berikut:
Kembali ke masalah promo. Ternyata, kurva permintaan seseorang bisa terputus dan bergeser di kala menghadapi even promosi 'Beli 1 Dapat 1'.
Berikut ini ilustrasinya:
Contoh yang digunakan disini adalah penjualan tas.
Terlihat, bahwa pada harga Rp 300.000 terjadi permintaan pasar sebesar 300 buah.
Andai harga turun menjadi Rp 200.000, seharusnya terjadi lonjakan permintaan sebesar 400 buah, namun gegara calon konsumen dijanjikan memperoleh bonus satu barang lagi, maka permintaan pasar bisa 'loncat' menjadi 800 buah.
Di sisi non-fisik, rasa kepuasan konsumen yang diwakili oleh Indifference curve (IC) - yang seharusnya berwujud cembung sempurna (strictly convex) -- kini menjadi berliku. Ini bisa dibaca juga sebagai pengambilan keputusan yang tidak konsisten lagi dari konsumen (pembelanja).
(Hihihi, IC-nya jadi geal-geol bentuknya.)
Inilah yang mengakibatkan garis pada kurva permintaan seseorang jadi tidak kontinyu lagi, dan terputus-putus, atau disebut juga 'discrete' akibat efek iklan yang menghipnotis konsumen untuk merasa lebih untung jika membelinya pada saat itu, pada tingkat harga promo tersebut.
PENUTUP
Barang promo 'Beli 1 Dapat 1' bisa menjadikan kurva permintaan konsumen terputus-putus alias tidak berkesinambungan (discrete). Fenomena ini adalah opposite (kebalikan) dari dari sifat kontinyu dari kurva permintaan yang normal.
Adalah sensasi 'aji mumpung' yang mampu mengangkat rasa kepuasan seseorang, ditunjukkan dengan kurva utility (IC) kita yang meningkat, namun juga sekaligus mengubah bentuk IC yang tadinya konveks sempurna: menjadi berliku-lliku. Akibatnya, seseorang menjadi tidak konsisten pada perencanaan keuangannya (budget) di awal bulan.
Salam giur geol...
Tulisan ini sudah didokumentasikan padablog pribadi penulis: rasi0.wordpress.com
Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H