Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembalikan Peran Perpustakaan

29 Juni 2020   08:55 Diperbarui: 29 Juni 2020   08:51 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, ada olok-olok tentang hafidz, muslim yang hafal Al-Qur'an. Dikatakan, bahwa mereka yang hafidz, tidak ubahnya sebagai kaset berjalan. Hanya menyuarakan memory yang direkamkan pada isi kepala mereka.

Namun, perkembangan zaman, membungkam olok-olok itu sendiri. Ternyata metode menghafal itu, memasukan dan mengumpulkan data, diduplikasi oleh Google. Hampir semua orang bergantung pada Google. Hafidz, justru lebih maju.

Mereka adalah pribadi-pribadi Google itu sendiri. Mereka menyimpan data, pada memory kepalanya sendiri.

Lalu, apa beda antara perpustakaan dan seorang Hafidz. Pada perpustakaan, disamping data yang lengkap, juga ada kajian dan pergulatan pemikiran di sana. Sehingga tak heran lahir Das Kapital yang mengguncangkan dunia. Ada analisa yang tajam tentang keilmuan.
Maka, jika saja hafidz mau melangkah selangkah lagi. Saya yakin, peradaban dunia baru ini, terletak pada para Hafidz.

Khayal kah keyakinan saya ini? Saya yakin bukan khayalan. Pada masa lalu, apa yang saya yakini ini, sudah terbukti. Mereka-mereka yang mampu merubah Dunia, adalah mereka-mereka yang Hafidz. Sebut saja Bukhori, Muslim, Ibnu Siena, Aljabar dan masih banyak lagi.

Jadi, keyakinan kita bahwa hafidz adalah tujuan, sudah saatnya dirubah. Hafidz adalah langkah awal. Kemudian, dengan perpustakaan yang telah mereka miliki di kepalanya, lalu, diharapkan mereka membuat kajian-kajian dari sana.

Inilah generasi yang terbaik itu. Bukan hanya kembali pada perpustakaan (literasi).  Melainkan, menciptakan perpustakaan sendiri di kepalanya. Lalu melakukan kajian mendalam dari perpustakaan pribadi yang dimilikinya.

Karya yang akan lahir kelak, bukan Das Kapital, yang efek negatifnya masih kita rasakan hingga kini. Tetapi, karya yang akan membawa suasana damai dan sejahtera bagi alam semesta.
.
Wallahu A'laam.

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun