***** Â
Ada rombongan Pengantin kerajaan, kedua mempelai turun menapaki tangga Masjid Jami', di kiri kanan pengawal berjalan dengan gagahnya. Para pengeran dan keluarga kerjaan mengiringi di belakang. Sementara di depan prosesi itu dikawal dengan semacam tarian yang berfungsi  bagai pasukan patwal.
Aku yang berdiri diantara ribuan rakyat jelata di pinggir jalan. Persis pada posisi dimana kini aku duduk, memperlihatikan semuanya dengan cermat. Â Masih jelas diingatan ini. Meuthia dengan sudut matanya melihat pada ku. Ada keterkejutan di mata itu, ada aura muka yang berubah sedih, melihat kehadiran ku.
Kesedihan pada aura wajah Meuthia itulah yang jadi bekal ku, meninggalkan Pontianak. Menaklukan  Jakarta. Kini, Jakarta telah ku taklukan. Namun, dimana sang sebab penaklukan Jakarta itu? Dimana Meuthia?
Rinai gerimis hujan bulan Juni masih terus berlangsung. Aku masih duduk di bangku yang sama. Hari ini, Â hari keempat aku duduk di bangku yang sama.
Terlihat dengan jelas oleh mata tua ini. Lelaki muda, gagah, tampan, melangkah menuju padaku dengan langkah pasti. Inikah lelaki yang ku kuatirkan itu, anggota Polisi yang akan datang dengan borgol, tersebab ada lelaki tua yang duduk dibawah rinai hujan bulan Juni, selama empat hari di bangku yang sama. Lelaki tua, yang dalam persangkaan lelaki muda yang datang, sebagai pengedar Narkoba.
Langkah gagah itu, semakin dekat. Semakin aku yakin, melangkah ke arah ku.
Dengan senyumnya, dia semakin mendekat... mendekat dan mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
"Assaalamu'alaikum" sapa lelaki muda itu.
"Waalaikum salaam" jawabku ringkas.
"Mengapa duduk di bangku dibawah hujan pak?" tanya lelaki muda itu.