Sore hari (14/06/20) saya membaca tulisan orang tua saya, Tjiptadinata Effendi. Tulisan yang sungguh jujur dan menginspirasi.
Beliau menuliskan. Bahwa, untuk mengasihi sesama, seperti mengasihi diri sendiri. Sungguh sulit. Namun, meski sulit, beliau mengakhiri tulisannya dengan Quote yang manis sekali. Di usia 77 tahun, saya sungguh belum mampu menyayangi semua orang. Tapi, setidaknya saya bersyukur tidak membenci siapapun.
Kata-kata terakhir "tidak membenci siapapun", mengilhami saya untuk membuat tulisan ini.
Ada tiga kejadian yang seharusnya saya sikapi dengan membenci sang oknum penyebab dari terjadinya ketiga peristiwa itu.
Namun, alih-alih membenci. Malam hari setelah kejadian itu, sebelum tidur saya telah memaafkannya.
Kejadian Pertama. Saya yang memiliki kedekatan dengan seorang pengusaha besar pada Era Orde Baru (yang bersangkutan kini telah almarhum dan mantan Mentri pada Kabinet zaman Orde Baru), dimanfaatkan oleh kolega-kolega saya untuk dapat pindah kerja ke Perusahaan milik Sang mantan Mentri. Saya, yang Ketika itu masih muda (belum tiga puluh tahun), mengiyakan permintaan teman-teman, tanpa menaruh curiga sedikitpun.
Singkat cerita, hampir semua teman berhasil menyeberang ke perusahaan sang mantan Mentri. Namun, diluar pengetahuan saya, ada yang melaporkan apa yang telah saya lakukan. Akibatnya, saya dipecat hari itu juga. Tepatnya, hari Kamis.
Malamnya, saya masih bermalam di kantor dimana siang hari tadi, saya dipecat. Malam itu, saya segera tahu, siapa pelaku yang berhianat itu. Saya tidak marah, juga tidak benci. Bahkan, sebelum tidur, saya memaafkan apa yang telah dia lakukannya pada saya.
Besok hari, Jum'at pagi. Saya ke Bintaro Jaya. Tempat sebuah konsultan besar ternama berlokasi. Orang yang saya cari, sedang senam pagi. (zaman orba, setiap pagi Jum'at karyawan BUMN melakukan senam pagi). Selesai beliau senam, saya di panggil dan pagi itu juga, saya diterima. Kemudian, dengan kendaraan beliau, saya dihantarkan ke lokasi proyek yang akan menjadi tempat kerja saya. Tepat, di belakang kantor WAPRES. Proyek Renovasi Gedung DPRD.
DKI. Selesai semuanya, beliau berpesan. Hari ini, cukup sampai sini dulu. Karena besok hari sabtu. Silahkan kerja di mulai hari senen saja.
Saya berubah profesi dari juru gambar dan sondir, jadi MK.
Kejadian Kedua. Sepulang saya dari sholat Maghrib di Mesjid. Ada utusan yang meminta saya untuk segera menghadap pimpinan. Tanpa menunda waktu, dan menaruh curiga sedikitpun, saya segera menghadap sang pimpinan.
Setelah sedikit basa-basi. Pimpinan mengatakan bahwa orang dekat saya. Sore tadi membuat onar. Konsekwensinya, saya sebagai penanggung jawabnya, saat itu juga dipecat.
Ketika kami bicara, Adzan Isha berkumandang di Mesjid. Saya dan pimpinan bersama pergi ke Masjid. Sang pimpinan menjadi imam sholat Isha, saya menjadi makmumnya. Tapi posisi saya saat itu, sudah bukan karyawan sang Imam lagi.
Apakah saya membenci orang dekat saya itu? Alih-alih membenci. Sebelum saya memejamkan mata malam itu, orang dekat saya itu telah saya maafkan. Bahkan, ketika orang dekat saya ini meninggal, kedua tangan saya yang meletakkan jasad almarhum di liang lahatnya.
Lalu, kami menuju Jakarta. Perjalanan untuk sampai Jakarta butuh waktu tiga hari tiga malam. Beberapa hari kemudian setelah tiba di Jakarta, saya di terima kerja di kontraktor nasional.
Kejadian ketiga. Saya yang merasa ingin berbuat baik dengan "ponakan" (ponakan dalam tanda petik) mengajaknya bekerja. Entah disebabkan karena tidak pernah merantau, atau ada alasan lain, sang ponakan dalam tanda petik minta pulang.
Selesaikah masalahnya? Ternyata belum. Dengan kepiawaiannya, sang ponakan dalam tanda petik ini, berhasil memaksa saya untuk pulang juga, mengikuti jejaknya.
Bencikah saya padanya? Tidak. Hari itu juga saya sudah memaafkan semua perilaku manisnya pada saya.
Bagaimana kelanjutan kisah yang ketiga ini? Saya tidak ingin melanjutkannya. Biarlah dia jadi pertanyaan dan PR untuk pembaca sekalian.
Intinya, kita tidak perlu membenci siapapun yang telah mengecewakan kita. Jika, menyangkut urusan pribadi. Kita hanya boleh benci pada seseorang, jika sudah menyangkut hajat orang banyak, seperti penghianatan pada negara, masyarakat, dan hak azasi masyarakat.
Untuk urusan yang sifatnya pribadi, tidak hanya cukup menghilangkan benci. Namun, juga harus memaafkan.
.
Wallahu A'laam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H