Kejadian Kedua. Sepulang saya dari sholat Maghrib di Mesjid. Ada utusan yang meminta saya untuk segera menghadap pimpinan. Tanpa menunda waktu, dan menaruh curiga sedikitpun, saya segera menghadap sang pimpinan.
Setelah sedikit basa-basi. Pimpinan mengatakan bahwa orang dekat saya. Sore tadi membuat onar. Konsekwensinya, saya sebagai penanggung jawabnya, saat itu juga dipecat.
Ketika kami bicara, Adzan Isha berkumandang di Mesjid. Saya dan pimpinan bersama pergi ke Masjid. Sang pimpinan menjadi imam sholat Isha, saya menjadi makmumnya. Tapi posisi saya saat itu, sudah bukan karyawan sang Imam lagi.
Apakah saya membenci orang dekat saya itu? Alih-alih membenci. Sebelum saya memejamkan mata malam itu, orang dekat saya itu telah saya maafkan. Bahkan, ketika orang dekat saya ini meninggal, kedua tangan saya yang meletakkan jasad almarhum di liang lahatnya.
Lalu, kami menuju Jakarta. Perjalanan untuk sampai Jakarta butuh waktu tiga hari tiga malam. Beberapa hari kemudian setelah tiba di Jakarta, saya di terima kerja di kontraktor nasional.
Kejadian ketiga. Saya yang merasa ingin berbuat baik dengan "ponakan" (ponakan dalam tanda petik) mengajaknya bekerja. Entah disebabkan karena tidak pernah merantau, atau ada alasan lain, sang ponakan dalam tanda petik minta pulang.
Selesaikah masalahnya? Ternyata belum. Dengan kepiawaiannya, sang ponakan dalam tanda petik ini, berhasil memaksa saya untuk pulang juga, mengikuti jejaknya.
Bencikah saya padanya? Tidak. Hari itu juga saya sudah memaafkan semua perilaku manisnya pada saya.
Bagaimana kelanjutan kisah yang ketiga ini? Saya tidak ingin melanjutkannya. Biarlah dia jadi pertanyaan dan PR untuk pembaca sekalian.
Intinya, kita tidak perlu membenci siapapun yang telah mengecewakan kita. Jika, menyangkut urusan pribadi. Kita hanya boleh benci pada seseorang, jika sudah menyangkut hajat orang banyak, seperti penghianatan pada negara, masyarakat, dan hak azasi masyarakat.
Untuk urusan yang sifatnya pribadi, tidak hanya cukup menghilangkan benci. Namun, juga harus memaafkan.