Menulis, bagai menapak di jalan sunyi. Tidak berteman di dunia ramai, cukup duduk di depan laptop. Lalu, menuliskan semua ide, dengan imajinasi bagi yang menuliskan fiksi dan dengan data valid, jika menulis non fiksi.
Tekanan pada kalimat "jalan sunyi" lebih pada kata kiasan, dibandingkan dengan reality yang terjadi dikehidupan nyata. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka saya buat tulisan ini.
Bagi saya, menapak jalan sunyi, bukan hanya pada kata kiasan. Namun, terjadi dalam kehidupan nyata. Betapa tidak, saya mengalami sendiri hal itu. Seperti yang akan saya ceritakan di bawah ini.
Pagi belum sepenuhnya berangkat siang, jam baru menunjukkan pukul Sembilan waktu Indonesia Tengah, ketika saya meninggalkan Embay, ibu kota Kabupaten Negekeo di Pulau Flores, Provinsi NTT.
Belum lagi berjarak 2 km selepas kota Embay, hujan turun. Hujan suatu peristiwa langka untuk daerah NTT. Saya lalu berteduh, sekaligus termenung. Pertanda apakah ini?. Mungkinkah ini pertanda kurang baik bagi perjalanan saya, perjalanan seorang diri, menapaki daratan Pulau Flores untuk akhirnya tiba di rumah saya di ujung paling barat Pulau Jawa. Banten.
Saya hanya sendiri mengendarai motor roda dua, dengan usia diatas 55 tahun, tanpa peta dan kompas, tanpa modal uang yang berlebihan. Namun, dengan satu tekad, semoga perjalanan ini, memperkaya bathin saya dan berbuah tulisan yang memberi manfaat bagi pembaca kelak.
Wajar, jika ada keraguan dan ketakutan di dalam hati. Dengan keraguan dan ketakutan yang saya kelola dengan baik. Maka, hasilnya, timbul sikap berhati-hati ketika dalam berkendaraan dan menangkap setiap detail hal yang terjadi dalam perjalanan, yang kelak, akan saya bagi untuk masyarakat banyak dalam tulisan saya. Maka, perjalanan seorang diri itu pun dilakukan.
Prosesi jalan sunyi itupun dimulai.
Arah yang saya ambil, terus saja ke arah timur, hingga Larantuka. Kemudian, berbalik lagi ke Barat, hingga kelak tiba di Banten.
Siang itu, saya bertemu dengan Roman Rendunusa di kota Ende, seorang teman penulis juga, seorang Kompasianer. Setelah sekian lama menunggu di Taman Perenungan Bung Karno di Ende. Dengan teman ini, saya banyak tahu tentang Ende.
Besoknya, saya mengekplorasi Ende dengan kaca mata saya sendiri, bermodalkan  keterangan dari sang teman. Roman Rendunusa.