Bau ini yang selalu memanggil, membawa Mak selalu ingin pulang. Bau daun padi, menjelang isi. Demikian kata Mak, ketika menginjakkan kakinya di kampung halaman beliau.
Saya ketika itu, masih berusia 24 tahun. Itulah untuk pertama kali, saya mengunjungi kampung halaman Mak. Saya, tidak sepenuhnya mengerti, apa maksud Mak dengan Bau daun padi? Saya hanya tersenyum, lalu, mengiyakan seluruh celoteh Mak tentang hal ikhwal kampung halamannya. Semua yang nyaris asing bagi saya.
Kini, tiga puluh empat tahun kemudian, kembali, saya mengunjungi kampung Mak, tentunya tanpa bersama Mak, beliau telah lebih dahulu menghadap sang Pencipta, Allah SWT.
Namun, memori pulang kampung pertama bersama Mak, tidak mungkin terlupakan. Juga tentang bau daun padi itu. Saya menganalisa, bau daun padi, hanyalah istilah. Untuk menggambarkan, sesuatu yang khas kampung beliau, tidak beliau jumpai di tanah rantau, bahkan ketika membawa sang putra yang sudah dewasa.
Aroma kampung itu, tetap "sesuatu" banget. Tidak ada duanya.
Bagai daun kembali pada tampuknya, ranting kembali pada cabang dan cabang kembali pada batang. Ada bulir aluran kulit pada daun batang dan cabang, yang hanya dimiliki oleh batang tersebut, sehingga mereka dapat kembali, pas pada aluran yg khas itu.
Nama daun, ranting dan cabang, boleh sama untuk suatu tanaman dan pohon. Namun, aluran tiap pohon, hanya khas pada satu pohon itu, tidak pada pohon yang lain.
Bagai anak kembali pada Mak. Mak bisa berbilang ratusan, berbilang juta, bahkan milyard di permukaan bumi ini. Namun, satu anak, hanya untuk satu Mak. Tidak tergantikan dan tidak dapat disamakan. Ada ikatan emosi dan perjalanan kisah dalam waktu, yang tidak mungkin di duplikasi kan pada Mak yang lain, pada wanita yang lain.
Kampung dengan segala kesederhanaannya, bagai sebuah buku yang tidak mungkin dicetak ulang. Isinya, mungkin, boleh sama. Namun, rasa yang mengiringinya, tidak mungkin sama. Ada hal-hal yang dapat diceritidakan. Namun, banyak hal yang hanya bisa dimengerti dengan dilihat, dicium dan disentuh. Begitulah, mungkin tafsir dari bau daun padi yang dibisikkan Mak pada saya ketika itu.
Itu pula tafsiran, mengapa kita harus berhaji, berumrah. Tidak ada redaksi kata ataupun tulisan yang mampu menggambarkan hal yang terasa di hati, ketika melihat Ka'bah, menyentuhnya dan mencium Hajar Aswad. Maka, untuk tahu rasa itu, datanglah  sendiri, rasakan sendiri, buat kesimpulan sendiri. Karena, rasa dan kesimpulan, tidak dapat di generalisir. Dia sangat individualis, nafsi-nafsi.
Pulang lah ke kampung, ke asalmu. Insha Allah, kau akan tahu siapa dirimu, asal muasal dirimu. Ada nenek moyangmu dengan segala ideal yang ada di kepala dan dadanya tentang apa yang kelak di rasakan dan dicapai anak-anak mereka, hingga kau kini berada pada posisimu.
Ada Rasul yang dengan segala ideal akan ajaran yang dibawanya dan seluruh perjuangan yang telah dilakukannya. Hingga kau kini, memahami agama dan ajarannya seperti sekarang ini.
Semuanya, tidak tiba-tiba dan bebas nilai. Semuanya, ada rangkaian panjang benang merah yang mempertautkannya. Maka, untuk tahu, rangkaian panjang itu, pulanglah ke pangkalmu, ke kampung halaman, dimana orang tua mu berasal, agamamu bermula.
Inilah salah satu tafsir mudik itu.
Bunda mengajarkan saya kembali ke asalnya dengan caranya, ada saatnya juga, kita mengajarkan pada anak dan cucu kita dengan cara kita. Pelajaran tentang mudik yang perlu di update tiap saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H