Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ramadan Dengan Nalar Terbalik

20 Mei 2019   20:30 Diperbarui: 20 Mei 2019   20:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Medsos ada suasana bahagia dan gembira menyambut Ramadhan. Saya, kok malah sedih. Kok bisa? Begitu pertanyaannya. Untuk menjawab pertanyaan diatas. Maka, saya buat tulisan ini.

Ramadhan bagi kita, peristiwa yang berulang setiap tahun. Tak ada tahun yang tidak dikunjungi Ramadhan. Setiap ada kunjungan Ramadhan selalu saja umat Islam menyambutnya dengan suka cita, begitu juga dengan saya. 

Meski, ekspresi kegembiraan yang saya tampilkan berupa kesedihan. Bahkan, tak jarang, dengan air mata. Kok bisa? Mengapa tidak? Bukan hal aneh, kegembiraan yang kita alami, terkadang ekspresinya dengan air mata.
Semua kelebihan tentang Ramadhan sudah diulas panjang lebar, saya tak ingin untuk mengulangi kembali. Juga, tentang kelebihan puasa yang jarang dibicarakan orang. Seperti, untuk menjadi perampok ulung yang tidak mempan senjata tajam dan senjata api, ada ritual puasa untuk mengkhatamkan ilmunya.

Lalu, di sisi mana saya sedih dengan puasa? Jawabnya, karena datangnya Ramadhan yang rutin setiap tahun. Sudah menjadi fitrah manusia, semua yang selalu bersamanya, menjadikan tidak menarik dan menghilangkan inovasi untuk mengenalnya lebih detail.

Coba tanya pada pemilik Mercy, kapan dia menikmati kelebihan Mercy yang dimilikinya. Jawabnya hanya tiga bulan. Selepas itu, hanya rutin duduk di mobil yang dimiliki, tanpa ingin mengetahui detail kelebihan Mercy yang dimiliki. Demikian juga dengan pemilik rumah mewah, motor Harley-Davidson dlsbnya, tak terkecuali puasa yang akan segera datang.

Memory yang ada di kepala kita, ketika kita sebutkan puasa. Maka, akan keluar pengertian "tidurnya orang berpuasa" berpahala. Maka, jadilah Mesjid dan Musholla penuh dengan orang tidur siang. Pulang kampung atau mudik. Maka, jadilah, sebelum puasa dimulai, tiket KA sudah habis terjual. Baju baru dan segala baru. Maka, jadilah tanah Abang hiruk pikuk dengan aktifitas jual beli yang lain sama sekali dengan di luar Ramadhan. Juga, THR menjadi topik hangat menjelang lebaran. Harga sembako yang melangit dan hiruk pikuknya penguasa menjelaskan mengapa sembako naik dan protes oposisi yang menyalahkan penguasa yang gagal dalam mengantisipasi harga sembako pada bulan Ramadhan.

Apakah yang saya sebutkan di atas, ada sangkut pautnya dengan ritual puasa? Jawabnya, tak ada hubungan sama sekali. Semua itu, hanya peristiwa budaya yang mengiringi ritual puasa. Nyaris, bahkan, mengkerdilkan arti puasa itu sendiri.
Lalu, apa sebenarnya puasa itu? Puasa adalah ajang latihan kita untuk menjadi "manusia" sesungguhnya. Manusia yang dengan sentuhan iman. Manusia yang berbeda dengan yang tak beriman.

Jika sebelum puasa, kita berdebat tentang kebenaran, menjadikan kebenaran sebagai "aku" dan kebenaran pihak lain sebagai "kamu". Aku dan kamu dua pihak yang berseberangan. Maka, dengan puasa. Kita sadari, bahwa kebenaran itu, sebuah inner di dalam diri kita. Ketika dia keluar dari dalam diri. Maka, yang tampak adalah saling menghargai, kasih sayang, empati pada sesama manusia, juga empati pada alam semesta.

Jika aku benar menurut versiku dan kamu benar menurut versimu. Ketika kita bertemu, bukan "perkelahian" yang timbul. Melainkan, rasa persaudaraan, rasa empati dan berlomba untuk berbuat yang lebih baik lagi. Pihak yang unggul dalam berbuat kebaikan itulah, yang sesungguhnya memiliki kebenaran yang hakiki.

Karena, sesungguhnya, kebenaran yang hakiki hanya milik Allah. Dari logika diatas, mereka yang paling dekat dengan Allah, akan memiliki atau mendekati kebenaran yang hakiki.

Maka, untuk mengejewantahkan kebenaran itu, kita membutuhkan ruang untuk latihan. Ruang tempat latihan itulah yang dinamakan puasa.
Ketika kita tadarus al-Qur'an, ketika itu, kita sedang belajar memakai nalar kita, nalar yang sesuai dengan nalar kehendak Pemilik Kebenaran. Kita sedang mengeja ketinggian bahasa kita, bahasa yang ketika digunakan dalam keseharian, memiliki intonasi yang lembut, sarat makna dan penuh dengan hikmah.

Ketika kita menahan lapar. Kita sedang belajar merasakan apa yang dirasakan saudara kita yang tak berpunya. Rasa yang akan melahirkan empati pada mereka. Rasa yang bukan dibalas dengan makan sekenyang-kenyangnya ketika berbuka. Tapi, dibalas dengan membagikan yang kita punya untuk mereka yang tak punya. Bukan hanya memberi dalam arti fisik, juga memberi kasih sayang, sebagaimana Allah telah lebihkan kasih itu pada kita.

Ketika, kita melakukan tarawih, itu artinya kita berusaha sedekat mungkin dengan Sumber Kebenaran itu, lalu dengan kebenaran yang kita peroleh dari Sumbernya. Maka, kita akan mewujudkan dan melahirkan kebenaran seperti yang telah dibuat dan dilakukan Sumber Kebenaran itu pada kita. 

KASIH SAYANG NAN TAK BERTEPI.
Inilah makna puasa itu. Makna yang dapat dilihat hasilnya, ketika kita keluar dari ruang latihan selama sebulan itu.
Jika kita serius mengikuti latihan itu. Lalu, kapan waktunya kita memikirkan untuk mengganti pakaian baru, mobil baru, rumah baru, berburu tiket KA, tiket PELNI, tiket Pesawat, dll? Masihkah terpikirkan untuk bermegah-megah pulang kampung, sebagai pertanda, kita telah sukses hidup di rantau.
Semuanya, tentu tak ada waktu lagi.

Selesai waktu pelatihan, yang ada, hanya rasa syukur, bahwa kita telah selesai mengikuti pelatihan. Syukur yang dibarengi rasa was-was, luluskah saya dalam pelatihan itu?

Sebuah pertanyaan yang jawabannya baru diketahui setelah bilangan bulan berikutnya. Jika, perilaku kita jadi lebih baik, empati pada sesama menjadi lebih baik. Maka, indikasinya kita lulus dalam pelatihan. Namun, jika tanpa perubahan yang signifikan, berarti, kita hanya larut dalam budaya yang datang setiap tahun.

Budaya yang melelahkan banyak pihak. Menimbulkan cost hidup lebih berat. Budaya yang membalikkan nalar sehat kita.
Bukankah, jika orang puasa, ada jeda dua belas jam untuk tidak memasukkan makanan dalam perut. Itu artinya, ada pengurangan konsumsi sembako. Lalu, mengapa permintaan sembako malah bertambah? Gak masuk akal kan?
Semoga kita, bukan termasuk mereka yang memutar balikkan nalar sehat, hanya karena melakukan ibadah puasa......InshaAllah

Wallahu A'laam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun