Di Medsos ada suasana bahagia dan gembira menyambut Ramadhan. Saya, kok malah sedih. Kok bisa? Begitu pertanyaannya. Untuk menjawab pertanyaan diatas. Maka, saya buat tulisan ini.
Ramadhan bagi kita, peristiwa yang berulang setiap tahun. Tak ada tahun yang tidak dikunjungi Ramadhan. Setiap ada kunjungan Ramadhan selalu saja umat Islam menyambutnya dengan suka cita, begitu juga dengan saya.
Meski, ekspresi kegembiraan yang saya tampilkan berupa kesedihan. Bahkan, tak jarang, dengan air mata. Kok bisa? Mengapa tidak? Bukan hal aneh, kegembiraan yang kita alami, terkadang ekspresinya dengan air mata.
Semua kelebihan tentang Ramadhan sudah diulas panjang lebar, saya tak ingin untuk mengulangi kembali. Juga, tentang kelebihan puasa yang jarang dibicarakan orang. Seperti, untuk menjadi perampok ulung yang tidak mempan senjata tajam dan senjata api, ada ritual puasa untuk mengkhatamkan ilmunya.
Lalu, di sisi mana saya sedih dengan puasa? Jawabnya, karena datangnya Ramadhan yang rutin setiap tahun. Sudah menjadi fitrah manusia, semua yang selalu bersamanya, menjadikan tidak menarik dan menghilangkan inovasi untuk mengenalnya lebih detail.
Coba tanya pada pemilik Mercy, kapan dia menikmati kelebihan Mercy yang dimilikinya. Jawabnya hanya tiga bulan. Selepas itu, hanya rutin duduk di mobil yang dimiliki, tanpa ingin mengetahui detail kelebihan Mercy yang dimiliki. Demikian juga dengan pemilik rumah mewah, motor Harley-Davidson dlsbnya, tak terkecuali puasa yang akan segera datang.
Memory yang ada di kepala kita, ketika kita sebutkan puasa. Maka, akan keluar pengertian "tidurnya orang berpuasa" berpahala. Maka, jadilah Mesjid dan Musholla penuh dengan orang tidur siang. Pulang kampung atau mudik. Maka, jadilah, sebelum puasa dimulai, tiket KA sudah habis terjual. Baju baru dan segala baru. Maka, jadilah tanah Abang hiruk pikuk dengan aktifitas jual beli yang lain sama sekali dengan di luar Ramadhan. Juga, THR menjadi topik hangat menjelang lebaran. Harga sembako yang melangit dan hiruk pikuknya penguasa menjelaskan mengapa sembako naik dan protes oposisi yang menyalahkan penguasa yang gagal dalam mengantisipasi harga sembako pada bulan Ramadhan.
Apakah yang saya sebutkan di atas, ada sangkut pautnya dengan ritual puasa? Jawabnya, tak ada hubungan sama sekali. Semua itu, hanya peristiwa budaya yang mengiringi ritual puasa. Nyaris, bahkan, mengkerdilkan arti puasa itu sendiri.
Lalu, apa sebenarnya puasa itu? Puasa adalah ajang latihan kita untuk menjadi "manusia" sesungguhnya. Manusia yang dengan sentuhan iman. Manusia yang berbeda dengan yang tak beriman.
Jika sebelum puasa, kita berdebat tentang kebenaran, menjadikan kebenaran sebagai "aku" dan kebenaran pihak lain sebagai "kamu". Aku dan kamu dua pihak yang berseberangan. Maka, dengan puasa. Kita sadari, bahwa kebenaran itu, sebuah inner di dalam diri kita. Ketika dia keluar dari dalam diri. Maka, yang tampak adalah saling menghargai, kasih sayang, empati pada sesama manusia, juga empati pada alam semesta.
Jika aku benar menurut versiku dan kamu benar menurut versimu. Ketika kita bertemu, bukan "perkelahian" yang timbul. Melainkan, rasa persaudaraan, rasa empati dan berlomba untuk berbuat yang lebih baik lagi. Pihak yang unggul dalam berbuat kebaikan itulah, yang sesungguhnya memiliki kebenaran yang hakiki.
Karena, sesungguhnya, kebenaran yang hakiki hanya milik Allah. Dari logika diatas, mereka yang paling dekat dengan Allah, akan memiliki atau mendekati kebenaran yang hakiki.
Maka, untuk mengejewantahkan kebenaran itu, kita membutuhkan ruang untuk latihan. Ruang tempat latihan itulah yang dinamakan puasa.
Ketika kita tadarus al-Qur'an, ketika itu, kita sedang belajar memakai nalar kita, nalar yang sesuai dengan nalar kehendak Pemilik Kebenaran. Kita sedang mengeja ketinggian bahasa kita, bahasa yang ketika digunakan dalam keseharian, memiliki intonasi yang lembut, sarat makna dan penuh dengan hikmah.