Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terima Kasih Nan-Membebaskan

20 Mei 2019   14:43 Diperbarui: 20 Mei 2019   14:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terima kasih, kata yang singkat, sederhana dan semua kita mengetahui artinya. Namun, benarkah kita telah mengetahui makna sesungguhnya dari terimakasih itu? Tulisan ini, berupaya, memandang arti terimakasih, yang berbeda dari makna nan kita ketahui selama ini.

Terima kasih, biasa kita ucapkan, ketika kita diberi "sesuatu" oleh orang lain. Ketika, kita diberi tempat duduk pada angkutan umum yang sedang padat, diberi uang dari orang tua, dijamu makan oleh kolega, memperoleh THR di tempat pekerjaan, ketika memperoleh pujian, dan lain sebagainya.

Namun, apakah  kita akan tetap mengucapkan terima kasih, ketika mendapatkan musibah, ketika mengalami kecelakaan, ketika orang yang kita cintai, tidak melakukan apa menyenangkan hati. Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, ketika ditipu orang.

Tentunya, Iya.  Mengapa? Bukankah, semua itu musibah. Lalu, mengapa kita harus mengucapkan terima kasih? Pada point inilah, kata terima kasih menjadi kajian yang menarik untuk dibahas.

Kata musibah, hanyalah satu kata dari sudut pandang yang lain, dari kata ujian. Kepandaian kita, memilih bahasa, akan menjadikan segalanya menjadi berbeda. Termasuk, kata musibah yang kita ganti dengan kata ujian. Ujian, konotasinya, dalam konteks waktu, hanya bersifat sementara dan sebentar.

Ketika kita menempuh Sekolah Dasar selama enam tahun. Namun, ujian untuk menentukan kelulusan sekolah selama enam tahun, hanya dalam hitungan hari yang kurang dari seminggu. Demikian juga, ketika SMP dan SMA. Tidak terkecuali, ketika sidang sarjana yang hanya dua hari.

Selesai ujian. Maka, ada pengharapan besar yang menanti kita. Di ujung ujian kita akan. Lulus, dari SD, SMP, SMA bahkan saatnya menjadi sarjana. Jadi, bersyukurlah, ketika ada ujian tiba. Dengan ujian, kita akan lulus, akan jadi sarjana, akan menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali sebelum ujian datang. Dengan logika demikian, masihkah kita tidak patut untuk berterima kasih?.

Dulu, sewaktu saya menjadi volunteer pekerja sosial, guna pengentasan kemiskinan di daerah pedalaman Banten. Wilayah kerja saya berjarak 112 km dari ibu kota kabupaten Lebak. Rangkasbitung. Untuk sampai di wilayah tugas, saya harus melewati jalan yang rusak berat. 

Biasanya, pada separuh jarak perjalanan, saya akan singgah di kedai kopi yang menyediakan bale-bale untuk istirahat. Sambil menikmati kopi, ada view pemandangan yang indah, ada jeda waktu sejenak untuk melarikan diri dari persoalan jalan yang rusak parah, disamping meluruskan pinggang yang pegal dihentak jalan rusak di atas motor.

Siang itu, mungkin karena kelelahan, saya tertidur hingga dua jam. Ketika terbangun, saya bayar kopi dan berencana melanjutkan perjalanan. Namun, betapa terkejutnya saya, harga kopi yang harus saya bayar, naik. Tidak seperti hari-hari biasanya. Saya tetap bayar dan mengucapkan terima kasih, meski dalam hati dongkol.

Setibanya ditempat tujuan, saya berpikir ulang. Tak sepatutnya saya dongkol, tokh kenaikan harga kopi, tak sebanding dengan nikmatnya saya tidur selama dua jam jika harus dihitung dengan nominal uang, ada jaminan bahwa motor saya aman.

Jika saja, ada yang usil, mengempeskan ban motor saya, apa saya tidak sengsara. Kemana saya akan cari tukang tambal ban ditengah daerah setengah hutan tersebut. Maka, sebagai rasa syukur dan terima kasih. Sejak itu, saya tetap singgah di kedai kopi tersebut.

Ketika kita nganggur, mestinya kita juga berterima kasih pada Allah. Dengan menganggur, kita dapat berkumpul dengan keluarga, dapat lebih khusu' beribadah. Dengan nganggur kita tahu betapa nikmatnya tidak memiliki uang.

Ketika kita kerja, kita lebih patut lagi berterima kasih. Karena kita memiliki sumber penghasilan. Ketika rezeki yang kita peroleh berlebihan, rasa terima kasih, hendaknya lebih ditingkatkan lagi. Karena, sesungguhnya, ujian terberat, justru ketika kita memiliki rezeki berlebih, ketika kita memiliki banyak uang.

Dengan uang yang banyak, semuanya dapat kita beli. Baik barang matang maupun mentah. Baik barang-barang yang memang kita butuhkan, atau barang-barang yang hanya sekedar keinginan belaka.
Bahkan, hukum dapat merangkak dikaki kita, dan menghamba untuk kita permainkan.

Dengan uang berlebih, kita mampu dengan mudah membeli Syurga, juga sekaligus Neraka. Di posisi inilah, jika tidak pandai bersyukur dan berterima kasih, kita akan dengan mudah membeli Neraka.

Jadi, apapun kondisi kita, pandai-pandailah berterima kasih. Baik ketika susah, apalagi ketika senang. Kemampuan kita berterima kasih, akan menunjukkan kualitas diri. Makin berkualitas seseorang, makin mampu dia berterima kasih.

Wallahu A'laam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun