Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Jangan Jadi Penulis

2 Februari 2019   10:30 Diperbarui: 2 Februari 2019   11:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : magnesianews.gr/perissotera

Siang itu, disela lelah setelah melakukan pelatihan penulisan. Saya tak sengaja mendengarkan obrolan dua peserta, tepatnya curhat pandangan mereka tentang personel penulis.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas mereka, kita sebut saja Amir dan Tono.

Amir :"Apa pendapatmu tentang penulis?"

Tono :"Maksudnya?"

Amir :"Kehidupan pribadi mereka."

Tono :"Saya kurang tahu. Kalau menurutmu?"

Jika menurut saya, mereka adalah manusia yang patut dikasihani. Mereka, ibarat lilin yang terbakar, menerangi sekitarnya. Namun, pada saat yang sama, mereka sendiri hancur dan akhirnya lenyap dimakan api itu sendiri.

Mereka menulis tentang indahnya sesuatu, padahal sesuatu yang mereka tulis, bukan apa yang mereka alami. Melainkan, sesuatu ideal yang ada dalam khayal mereka. Sesuatu yang bagi mereka sendiri hanyalah khayalan. Sesuatu, yang nyaris tak mungkin mereka raih. Lalu, sebagai konpensasinya. Sesuatu yang tak mungkin diraih dalam dunia nyata itu, mereka tulis, seakan mereka mengalaminya. Bahkan, dengan detail, khayalan itu ditulis, seakan nyata.

Bayangkan. Penulis yang rata-rata lemah dalam ekonomi itu, menulis tentang indahnya Istana. Kapan mereka memiliki Istana yang mereka tulis detail itu? Sedangkan rumah type 36 saja mereka tidak memilikinya.

Mereka menulis tentang indahnya kisah cinta antara romeo dan yuliet. Kapan mereka pernah jatuh cinta?. Dengan wajah penulis yang rata-rata dibawah standard ganteng dan cantik, serta penampilan yang kucel. Lalu, kapan kisah romantis yang mereka tulis itu, benar-benar mereka alami? Karena nyaris tak mungkin mereka alami, maka, mereka menuliskan detail khayalan itu dalam tulisannya. Semakin indah kisah yang mereka tulis. Maka, semakin tinggi khayalannya dan semakin paiawai mereka mengelola khayalan, untuk selanjutnya mereka tumpahkan dalam lembaran-lembaran kertas yang tak berdaya, dihadapan mereka.

Saya bahkan, pernah bertemu dengan penulis, yang bahkan seumur hidupnya, tidak pernah mengalami jatuh cinta dalam arti yang sesungguhnya. Karena wanita yang menjadi idaman sang penulis, tidak pernah benar-benar menjadi kekasihnya. Sebabnya? Saya sendiri kurang tahu. Tetapi, coba lihat tulisannya. Luar biasa indah dan romantis. Menjadikan semua yang membaca iri, seakan sang penulis Play Boy yang dikejar-kejar banyak wanita. Namun, dalam realita kehidupannya, dia hanyalah lelaki malang dan kesepian.

Juga, ada penulis yang dikenal dengan tulisannya yang liar dan penuh dengan perselingkuhan. Coba lihat dalam kehidupan realitasnya. Untuk selingkuh makan saja, sang penulis tidak mampu. Kenapa? Karena setiap hendak pergi kerja, isteri sang penulis selalu membekali nasi dalam rantang pada sang penulis.

Begitu penjelasan Amir panjang lebar pada Tono. Saya melihat Tono mendengarkan Amir dengan takzim. Ada raut yang bingung tergambar di wajahnya. Bingung pada realita yang digambarkan Amir dengan sejibun teori tentang menulis yang baru dia terima.

Saya masih ingin terus mendengarkan curhat pada Amir pada Tono. Namun, perut ini agaknya tak bias diajak kompromi. Saya kemudian bangkit menuju warung untuk makan siang.

Dalam perjalanan ke warung saya masih berpikir. Jika demikian kondisi yang digambarkan Amir. Sebaiknya, memang jangan penulis. Kecuali apa yang digambarkan Amir itu, salah.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun