Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Semua Adalah Guru

25 November 2018   12:25 Diperbarui: 25 November 2018   12:36 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Jangan sahabat semua, saya sendiri, terhenyak dengan judul tulisan diatas. Benarkah kita semua, sesungguhnya adalah guru?.

Saya sejujurya, yakin dua ratus persen, bahwa sesungguhnya kita semua guru. Soal apakah kita menjadi guru dalam pengertian menjadi sosok yang berdiri di depan kelas lalu dibayar oleh Negara, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau dibayar oleh yayasan disebabkan status kita guru luar negri --bukan ASN- hanyalah soal status dan semua itu, hanya sebagian kecil dari pengertian seorang guru.

Lalu, apa sesungguhnya yang disebut guru itu?  Menurut saya, guru adalah mereka yang di gugu dan ditiru. Mereka yang menjadi panutan bagi orang disekitarnya.

Itulah sebabnya, jika saja, hidup ini dapat diulang. Maka, saya menganjurkan pada setiap sahabat, untuk memulai karier, apapaun kelak karier kita setelah itu, jadilah seorang guru dulu. Mengapa? Dengan menjadi seorang guru terlebih dahulu, tertanam pada diri seseorang untuk berbagi pada orang lain, pada sesama manusia.  

Awalnya, ketika memulai menjadi guru, kita berbagi ilmu pada anak didik. Bukan hanya memberi, lalu semuanya selesai. Melainkan memberi dalam artian, agar apa yang kita beri, dapat diterima semuanya jika mungkin. Itulah makna ketika kita tanyakan pada siswa apa-apa yang telah kita berikan, dalam bentuk pertanyaan lisan atau dalam bentuk ujian tertulis diatas kertas. Lalu, siswa mampu menjawabnya dengan sempurna, kita memberikan angka 100 pada siswa.

Cukupkah hanya materi pelajaran saja yang kita berikan? Ternyata tidak, guru juga memberikan seluruh pribadi guru, memberikan contoh perilaku guru dalam keseharian pada siswa. Apa yang guru lakukan, bagaimana guru bicara, sikap dan bahasa tubuh guru, semuanya menjadi contoh bagi siswa. Itulah makna, digugu dan ditiru. Menjadi sosok yang menjadi panutan dan sosok yang ideal untuk ditiru. 

Kondisi ini, akan lebih mudah dipahami bagi mereka yang pernah hidup di Pesantren. Bagaimana para ustadz/Ustadzah hidup selama 24 jam selama proses belajar mengajar. Para santri, akan dengan mudah menyebutkan, siapa ustdz/ustadzah yang hanya "pintar" memberi materi pelajaran, dan siapa ustdz/ustadzah yang cocok menjadi panutan.

Beruntung saya, di semester dua kuliah saya, saya sempat menjadi guru disebuah yayasan yang punya andil besar dalam dunia pendidikan di negri ini. Dua tahun mengajar di sana, lalu saya masuk dalam dunia kontruksi. Lalu, kembali lagi berkutat dalam dunia pendidikan pada sebuah pesantren di Sumatera Utara, selepas itu, masuk dunia konstruksi kembali, masuk dunia social, seterusnya jadi dosen, juga jadi penulis.

Dari semua perjalanan hidup itu, jika saja seluruh aktifitas kita, diniatkan untuk mencerdaskan anak bangsa, diniatkan agar sosok diri, menjadi sosok yang patut untuk digugu dan ditiru. Maka, saya pikir, semua kita patut untuk disebut seorang guru.

Bukankah, mereka yang melakukan dakwah dengan berceramah memberikan tentang pencerahan hidup, mana yang benar dan baik, halal dan haram, syurga dan neraka, tidak berdiri di depan kelas. Demikian juga dengan para Pendeta, para Pastor, para Motivator, para Pejabat Publik, tidak berdiri di depan kelas. Juga para Insinyur yang membuat jembatan agar akses menuju sekolah menjadi mudah, yang membangun sekolah sehingga terpenuhi syarat sehatnya bangunan sekolah, juga mereka yang menjadi donator hingga terbangunnya fisik bangunan sekolah, tidak pernah berdiri di depan kelas.

Jadi jangan sempitkan makna guru, hanya pada mereka yang berdiri di depan kelas untuk mentransfer ilmu. Memang benar, tidak ada Presiden yang buta huruf. Artinya, apapun profesi kita, jasa guru di depan kelaslah yang pertama-tama mewarnai awal perjalanan hidup kita.

Namun, untuk menjadikan apa kita sekarang, raihan-raihan prestasi apa yang telah kita buat hingga sekarang. Banyak andil mereka, yang berdiri di depan kelas, juga yang tidak berdiri di depan kelas. Untuk semua mereka itu, hemat saya, layak disebut sebagai guru.

Selamat hari guru. Jadilah guru yang sebenarnya. Guru yang digugu dan ditiru. Guru yang idealnya, semua kita, menjadikan diri masing-masing sebagai guru. Minimal untuk lingkungan terkecil dimana kita berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun