Hampir sepanjang tahun 2015 saya menghabiskan waktu di kota Medan. Bulan Juni ditahun yang sama, saya pergi ke Kabupaten Labuhan Batu. Inilah perjalanan Napak tilas setelah 24 tahun lalu, saya meninggalkan Rantau Prapat.
Betapa kagetnya saya melihat kiri kanan jalan yang saya lalui. Nyaris saya tidak mengenali seluruh ruas jalan yang saya lalui. Kabupaten itupun kini, sudah menjadi tiga kabupaten. Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu dan Labuhan Batu Selatan.
Di kota Rantau Prapat sendiri, begitu banyak perubahan yang terjadi. Hampir saja, saya tidak menemui kedai kopi dimana saya setiap hari Jum'at selepas tengah hari, selalu ngopi di kedai tersebut.
Tahun 2017 saya mengunjungi Yogyakarta. Ada event budaya yang saya terlibat di dalamnya. Hal yang sama terjadi di Yogyakarta. Saya harus banyak bertanya pada mereka yang saya temui di jalan untuk tiba pada daerah-daerah yang dulu akrab dengan saya, seperti Baciro dll.
Fenomena apa ini sebenarnya? Hal inilah yang menarik untuk dikaji.
Ternyata, akar masalah seluruhnya adalah karena kesalahan yang bersumber dari diri pribadi saya sendiri. Apa itu? Karena saya, menggunakan peta yang salah. Peta yang saya gunakan untuk Rantau Prapat adalah peta tahun 1992 dan peta tahun 2000 untuk daerah Yogyakarta.
Akibatnya, sangat dimaklumi jika saya merasa "asing" untuk Rantau Prapat dan Yogyakarta, dua kota yang pernah sangat akrab dalam kehidupan saya.
Iktibar ini, ternyata berlaku bukan hanya dalam dimensi tempat. Melainkan, berlaku juga dalam semua dimensi sisi kehidupan.
Banyak diantara kita, begitu terengah-engah dan gelagapan dalam kehidupan, disebabkan salah menggunakan peta. Akibatnya, kita nyaris tidak menemui apa yang kita cari.
Peta atau pedoman yang kita gunakan sudah tidak update lagi, sudah jadul atau ketinggalan zaman.
Kita masih berbisnis dengan cara offline, padahal sudah ada cara on-line, kita masih belajar dengan cara klasikal, padahal sudah ada tutorial gratis di YouTube yang nota bene gratis.Â
Kita masih mencari sewa dengan mangkal di Prapatan, padahal sudah ada aplikasi grab atau ojek. Kita masih saja mengeluhkan kondisi jalan yang rusak parah antar provinsi serta cuaca buruk dalam perjalanan laut. Padahal sudah ada pesawat yang harganya selisih tipis dengan angkutan darat dan laut.
Lalu, apa pasal nya semua kesulitan dan kesusahan kita sekarang ini?
Salah satu sebab, kita salah menggunakan peta. Kita tidak mau berubah cepat dengan menggunakan peta yang update. Melainkan, masih bertahan dengan peta kadaluarsa. Jika kondisi yang tidak move on ini yang kita pertahankan. Maka, bersiaplah untuk kesasar dan tidak segera tiba pada tujuan yang disasar, atau bahkan tidak pernah tiba.
Baru-baru ini, saya bertemu dengan seorang sahabat. Dia yang saya kenal dulu rajin menulis. Sekarang sudah tidak menulis lagi. Ketika saya tanyakan sebabnya, saya cukup terkejut dengan jawaban yang saya dapatkan.
"Untuk apa menulis?" Di era digital ini, siapa yang mau baca buku? Karena, muara dari kegiatan menulis adalah menerbitkan buku. Lalu, ketika buku sudah keluar dari penerbitan, siapa yang mau beli? Karena kegiatan membaca media cetak sudah ditinggalkan orang. Jika ingin terus hidup miskin, maka menulislah terus. Demikian argumen sahabat saya.
Sahabat saya itu, kini jadi YouTubers. Dan dia dapat menghidupi keluarga dengan kegiatan barunya.
So, gunakan peta yang update jika tidak ingin buang waktu, kesasar, bahkan tidak pernah tiba pada tujuan yang disasar. Tak peduli, berapa usiamu, apa jenjang pendidikanmu, jika kau gunakan peta yang update. Maka, kau akan tiba pada tempat yang kau tuju....Insha Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H