"Jangan nangis dong Bonar" bisik Hani di telinga Bonar.
Tidak ada jawaban, hanya linangan air mata yang mengalir di pipi Roman tidak kunjung reda. Setiap disebutkan nama Bonar, rasa dalam dada Roman, semakin terkoyak. Tidak kah kau tahu Hani, aku ini bukan Bonar, tapi Roman. Sudahilah penyebutan nama Bonar. Dalam hari-hari penuh lara ini, paling tidak aku ingin kau memanggil diriku sebagai Roman. Sebagai diriku sendiri. Begitu jerit hati Roman pada Hani. Roman yang kini terkena stroke, tidak mampu untuk bicara, tidak mampu mengutarakannya pada Hani.
Hanya air mata yang mewakili rasa kecewa hati Roman.
*****
Tiga puluh delapan tahun lalu.
Roman, Hani dan Bonar. Tiga sahabat yang runtan-runtun kemana-mana bersama, bukan hanya di ruang kelas, di sekolah, juga pulang dan pergi sekolah. Tetapi dibanyak waktu dan banyak tempat. Hacking ke Goa Pakar, ke Maribaya dan kebanyak tempat.
Apalagi setelah setahun berikutnya, mereka sama-sama naik kelas dua, sama-sama jurusan IPA. Persahabat ketiga sahabat itu semakin kental saja. Tidak terpisahkan.
Bonar yang agresif dan Hani yang tomboy, tidak jarang terjadi perselisihan kecil. Tapi ada Roman yang kalem, cool habis. Menjadi jembatan bagi kedua mereka yang berantem. Roman yang menjadi perekat mereka bertiga, Bonar yang biang kerok, yang selalu menjadi warna dalam persahabatan itu dan Hani yang tomboy, yang membuatnya semuanya menjadi hidup.
"Man, kalau saja gak ada kamu... Mungkin kita sudah bubar" kata Hani suatu saat, ketika mereka hacking ke Maribaya. Saat itu, Bonar sedang buang air kecil ke bawah. Hani dan Bonar, baru saja berdamai.
"Akh... Tapi kalau gak ada Bonar, gak rame Han" jawab Roman.
"Tapi dia biang kerok" kata Hani lagi.