Hingga enam hari ke depan, aku selalu mengunjungi pameran Ramli. Tepatnya, hanya melihat lukisan Noni. Khususnya, hanya untuk memandang indahnya mata Noni. Lukisan yang fenomenal.
Selama seminggu itu pula, Ramli, tidak pernah bersedia menjelaskan siapa Noni. Dia hanya berjanji, akan memperkenalkan Noni, jika kelak, statusku sudah Duda.
Aku sempat menawarkan pada Ramli, bagaimana kalo aku ceraikan isteriku sekarang? Apa Ramli mau menceritakan siapa sosok Noni. Diluar dugaan, Ramli marah besar. Duda yang dimaksudkan Ramli, jika semuanya terjadi secara alamiah. Aku tersadar. Gila memang, sosok Noni yang gelap bagiku, harus dibarter dengan istri yang menemaniku selama ini.
*****
Di ruang tengah, sosok almarhum masih terbujur kaku, wajah yang kini tertutup kain panjang batik itu, nampak tersenyum, ketika tadi sempat aku singkapkan untuk melihat wajah sobatku untuk yang terakhir kali.
Surat dari Ramli, sudah kubaca dalam perjalanan menuju Jogyakarta tadi malam. Ramli telah menepati janjinya, meski tidak sempurna. Dia hanya mengatakan, agar aku harus bertanya pada Rina, siapa sosok Noni itu. Rina pasti akan mengenalkannya padaku. Karena, sesuai janjinya, aku kini, telah menduda. Begitu isi suratnya.
Namun, kondisinya kini, belum memungkinkan bagiku untuk bertanya pada Rina, suasana duka masih kental menyelimuti ruang keluarga Ramli. Juga, Rina masih dikelilingi anggota keluarga inti.
*****
Seminggu sudah Ramli meninggalkan kami. Tadi malam, tahlilan hari ketujuh selesai sudah dilaksanakan. Aku sengaja datang dari Jakarta. Bukan hanya karena Ramli, juga karena, Rina berjanji akan memperkenalkan aku pada sosok Noni. Sosok yang mengganggu hari-hariku selama 26 tahun terakhir ini.
Perlahan Rina keluar dari ruang kamar nya, mendorong sosok diatas kursi Roda. Memperkenalkan sosok itu sebagai Noni.
*****