Dua, Kurangnya Tenaga Pendamping Desa Tekhnis Infrastrukture.
Beban kerja yang overload, makin diperparah dengan kurangnya tenaga Pendamping Tekhnik Infra Struktur (PDTI). Bisa dibayangkan dengan mempasilitasi pembuatan Rencana Anggaran Biaya (RAB) sebanyak enampuluh saja sudah kedodoran, lalu harus memfasilitasi pembuatan RAB di kecamatan lain. Sungguh gak masuk akal. Akibatnya, banyak hal yang tidak terduga terjadi.
Diantara hal tak terduga yang terjadi itu, antara lain.
- Mendatangkan tenaga Pembuat RAB. Lalu sang perencana pergi entah kemana. Sisa pekerjaan berikutnya hanya diserahkan pada Kader Tekhnis untuk menyelesaikannya. Jangan tanya soal tanggung jawab dan kualitas perencanaan, karena tanggung jawab dan kualitas seorang professional identik dengan berapa imbal jasa yang mereka peroleh.
- Perencanaan dan pembuatan RAB dikerjakan oleh mereka-mereka yang mantan FT pada program PNPM. kondisi kedua ini, lebih baik daripada kondisi ke satu. Namun, tetap saja memiliki sisi lemah. Karena idealnya, seorang perencana dapat menekankan TPK untuk sebuah konstruksi yang direncanakan, misalnya, dimana harus dibuat gorong-gorong, juga dimana harus dibuat dinding Tembok Penahan Tanah dsbnya. Tidak hanya membuat, apa yang diminta desa. Tetapi, jika itu dilakukan oleh perencana mantan FT, desa dengan ringan bertanya "pangkatmu opo mas? kok maksa kita ngikuti maumu".
- Melihat kondisi desa, mendesak untuk dibuatkan perencanaan infrastructure, sementara tenaga PDTI yang tersedia kurang. Maka Tenaga Ahli yang berada di kabupaten, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka melakukan safari kunjungan ke kecamatan yang tidak memiliki PDTI, menemui Kasi Ekbang kecamatan. Kemudian, membuat deal "kesepakatan busuk" dengan pihak kasi Ekbang Kecamatan, untuk memobilisasi pembuatan desain dan RAB seluruh desa yang berada di kecamatan tersebut. Modusnya, dengan berbagi prosentase dari uang jasa desain dan RAB. Sekian persen untuk kasi ekbang dan sekian persen untuk TA yang bersafari itu.
- Modus lain, dengan cara yang lebih halus, mereka mengumpulkan Kader Tekhnis lalu memberikan fasilitasi pembuatan RAB. Pertanyaannya, logiskah enam puluh RAB selesai dalam waktu tiga hari? Hal sesungguhnya, RAB sudah jadi, hanya tinggal mengisi data desa, data pelaku Kader Tekhnis dan harga material lokal. Â Lalu, imbalannya sungguh mencengangkan dari "Fasilitasi" kilat yang hanya 3 hari.
Dari keempat hal tak terduga itu, semuanya mengakibatkan bocornya dana desa. Akar masalah dari kondisi ini, kurangnya tenaga PDTI. Kenapa kurang? Karena adanya ketidak-beresan dalam perekrutan tenaga Pendamping, terutama pendamping Tekhnik Infrastrukture. Bahkan ada Provinsi di Pulau Jawa, dari kebutuhan 110 tenaga PDTI hanya terisi sebanyak 15 tenaga PDTI. Kekurangannya sebanyak 95 orang (86,3%).
Jika terjadi kebocoran dana desa, siapa yang paling patut disalahkan? Tentunya, pihak Kemendesa, dalam hal ini, pada sistem perekrutan tenaga PDTI, bukan pihak Desa.
Tiga, SDM yang Rendah di Desa.
Secara teori, Perencanaan, Design dan pembuatan RAB dilakukan oleh Kader Tekhnis. Pertanyaannya sekarang, berapa banyak dari Kader Tekhnis yang mampu membuat Perencanaan, Design dan pembuatan RAB, sehingga dengan kemampuan yang mereka miliki, tenaga Pendamping Desa Tekhnik hanya sekedar mempasilitasi. Kenyataan yang terjadi di lapangan, kemampuan Kader Tekhnis nyaris tidak ada sama sekali. Kondisi ini diperparah dengan schedule waktu yang mepet. Akibatnya, tugas yang secara teori musti dilakukan oleh Kader Tekhnis, hamper seluruhnya diambil alih PDTI. Dalam pengambil-alihan kerja ini, secara budaya bangsa Indonesia, tentu bukan tanpa tanda "terima kasih". Ada dana desa yang masuk ke saku PDTI sekecil apapun itu. Belum lagi, jika ada "main mata" antara pihak desa dengan PDTI.
Lalu, apa solusinya? Tidak pernahkah terpikir oleh Kemendesa untuk menyelesaikan kendala ini. Caranya dengan memberikan pendidikan bagi Kader Tekhnis ilmu tentang Perencanaan, Design dan pembuatan RAB. Tekhnisnya, tentu bukan dengan cara-cara pelatihan, melainkan dengan pendidikan semacam kursus yang dilakukan BLK. Karena, jika pelatihan yang dilakukan, maka saya pastikan hasilnya akan nihil. Pengalaman pada Era PNPM, pelatihan untuk kader tekhnik desa (KPMD Tekhnis), setiap tahun dilakukan selama dua belas hari. Sekarang coba lihat, mana hasilnya? Hamper dapat dikatakan tak berbekas  sama sekali. Apakah, kita akan mengulangi pengalaman gagal pada era PNPM itu terulang kembali pada era Pendampingan Desa.
Jika ditanyakan dari mana dana untuk pendidikan Kader Tekhnis? Apakah itu bukan salah satu bagian kebocoran dana Desa? Jawaban dari pertanyaan diatas sama sekali tidak ada pemborosan dan tidak ada kebocoran. Pada RKPDes ada sector peningakatan kualitas Aparat Desa. Dari anggaran ini, pembiayaan pendidikan Kader Tekhnis dilakukan. Lalu siapa tenaga pelatih atau mentornya? Tentunya tenaga PDTI yang ada pada tiap-tiap kecamatan. Selanjutnya, jika dibutuhkan legalitas dari dari kegiatan yang dilakukan, maka tugas DPMD lah yang mengeluarkan "lembar Ijazah" sebagai legalitas bahwa yang bersangkutan telah mengikuti pendidikan Perencanaan, Design dan pembuatan RAB.
Empat, Soal Kualitas Bukan Kuantitas.
Jika ditanyakan, apa perbedaan pekerjaan fisik era PNPM dan era Dana Desa. Maka dengan mudah dijawab, soal kualitas pekerjaan. Fisik pada era pendampingan Desa, kuantitasnya tak perlu diragukan lagi. Karena setiap Desa, setiap tahun didatangi oleh Inspektorat untuk mengecheck kuantitas pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, maka modus kecurangan yang dilakukan desa, beralih pada kualitas.