Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Sang Pecinta

29 Mei 2017   23:42 Diperbarui: 29 Mei 2017   23:56 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“sudah berapa Juz Bang?” masuk WA dari sang dinda.

“Apanya yang berapa Juz?”

“Abang baca al-Qur’an di bulan Ramadhan ini” tanya sang dinda di WA nya.

Saya tak menjawab.

Bukan karena kolak yang terhidang di meja lebih menarik daripada menjawab pertanyaan sang dinda. Tetapi, pertanyaan itu, lebih seksi jika dibuat tulisan. Maka, tulisan ini saya maksudkan sebagai jawaban dari pertanyaan sang dinda.

Membaca al-Qur’an atau ibadah apapun itu, baik yang wajib atau yang sunat. Pada dasarnya, manusia digolongkan dalam tiga type manusia.

Type pertama, type anak kecil.

Type yang suka diiming-imingi, diberi janji. Baik-baiklah ya nak, kalau kau baik, Ayah akan suka padamu, Ayah akan memberimu sepeda yang kau minta, akan memberimu sepatu yang terbaik, membawamu pergi ke Restaurant nasi Kapau yang paling enak di kota ini. Tetapi, jika kau nakal, Ayah akan marah, Ayah akan sangat kecewa padamu. Bahkan, Ayah akan menghukummu.

Begitulah analogy type anak kecil dalam beribadah. Ketika beribadah, harapannya jelas. Hitam putih. Jika tidak Neraka maka Syurga. Neraka akibat perilaku nakalnya yang tidak menyenangkan sang Khaliq, sedangkan Syurga sebagai manifestasi dari perilakunya yang baik, ibadah yang tekun. Sehingga sang Khaliq menjadi senang dan akibatnya diberi hadiah berupa Syurga.

Type kedua, type Saudagar.

Jika kita melakukan perbuatan yang tidak baik, melanggar apa yang sudah ditetapkan sebagai aturan. Maka, kita akan dihukum dengan sulitnya rezeki, sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak adanya keberkahan dalam mencari rezeki, perilaku anak-anak yang tidak menyenangkan dan ketidak harmonisan dalam keluarga.

Sebaliknya, jika berlaku baik, taat beribadah, rajin mengeluarkan infak sadaqah, banyak memberi, maka rezeki akan mudah diperoleh. Jumlah rezeki yang diterima akan berlimpah, jikapun tidak berlimpah, maka akan  ada barokah didalamnya. Artinya, rezeki itu akan cukup meski tidak berlebihan. Anak-anak akan sehat-sehat, sekolah mereka akan lancar saja, perilaku mereka menyejukkan jiwa dan menyenangkan untuk dilihat. Dalam keluarga ada ketenangan dan saling cinta.

Begitulah type saudagar, semuanya dihitung dengan untuk rugi.

Type ketiga adalah type Pecinta.

Pada type ketiga ini, semua pertimbangan pada type pertama dan kedua, semuanya sudah tidak masuk hitungan. Fokus perhatiannya, bukan pada Neraka dan Syurga, bukan pada untung dan rugi. Melainkan, pada apa yang harus dilakukan agar sang “kekasih” senang. Sudah tidak ada lagi pertimbangan kuantitas, yang ada lebih pada pertimbangan kualitas.

Ketika membaca al-Qur’an, pertimbangannya bukan pada berapa Juz al-Qur’an telah selesai dibaca. Melainkan, sudah sampai mana pemahamannya dari ayat-ayat yang dibaca itu, sudah berapa banyak dari yang dipahami itu, mampu dilaksanakan dalam kehidupan kesehariannya.

Ketika sang pecinta, melaksanakan shalat taraweh, pertimbangannya, bukan berapa rakaat taraweh harus dilakukan, sebelas rakaatkah atau dua puluh tiga rakaatkah. Melainkan, bagaimana cara taraweh dilakukan. Tukmaninahkah, bacaannya yang dibaca benarkah, hadirkah hati ketika taraweh dilakukan.

Ketika zakat dibayarkan, bukan berapakah nominalnya yang harus dikeluarkan. Melainkan, bagaimana cara mengeluarkan. Bukan mengundang sang penerima datang ke rumahnya untuk menerima zakat yang akan dia keluarkan. Melainkan, dia sendiri yang akan pergi mendatangi mereka yang berhak menerimanya. Karena, sesungguhnya, sang hartawanlah dalam hal ini, lebih berkepentingan dibanding mereka yang akan menerima. Bukankah, tujuan zakat itu, menebarkan kasih sayang, mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung menjadi tersanjung. melupakan sejenak ketidak beruntungannya, ketika ada upaya rasa bahwa mereka dipersamakan dengan mereka yang beruntung.

Lalu, dimana letak kasih sayangnya, letak ketersanjungannya, ketika kaum tak beruntung ini datang mengantri ke rumah sang pemberi zakat? Bagai pengemis yang meminta belas kasihan. Konon lagi, jika harus ada korban jiwa dalam memperoleh hak yang semestinya memang harus mereka terima?

Lalu, dari ketiga type itu, manakah yang lebih baik? Saya tidak membandingkan mana yang lebih baik, hanya ingin mengklasifikasikan saja. Dimana saja posisi kita baik. Jika diantara kita ada yang mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. Silahkan saja, berusahalah untuk berganti posisi menuju posisi yang lebih baik menurut anda. Dan itu, juga baik…. Wallahu A’laam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun