Jum’at Pagi itu, jam baru saja menunjukkan pukul Sembilan lewat enam menit. Saya tergopoh-gopoh memasuki halaman Bentara Budaya. Tak ingin tertinggal rombongan, tepatnya menjadi orang yang ditunggu rombongan karena terlambat datang. Acara pagi itu, kami, kompasianer Jakarta, dengan difasilitasi Bus Wisata oleh Admin Kompasiana akan menuju kota Yogyakarta untuk menghadiri ICD (Indonesian Community Day) yang bertempat di Plaza Pasar Ngasem Jogyakarta dengan mengambil tema “inspiraksi”.
Ternyata, saya bukan satu-satu yang terlambat, sesuai waktu yang disepakati pukul Sembilan pagi. Masih ada beberapa teman kompasianer yang lain di belakang saya.
Setelah diabsensi oleh Mbak Yayat sebagai Pilot dan Mas Rahab sebagai co Pilot, Bus dengan perlahan berangkat menuju Jogyakarta. Eeeng..ing..eng.. Yogya, I am coming.
Bus berjalan perlahan diantara ribuan kendaraan yang merayap pagi itu menuju Tol dalam kota untuk selanjutnya menuju Toll Cikampek hingga berakhir di pintu exit Brebes. Di Dalam Bus kompasianer yang ikut, terlihat Zulfikar Akbar, Mas Wahyu, Bos Madyang Rahab, Iskandar Zulkarnain, Dian Kelana, Thamrin Sonata, Ibu Seno, Syifa, Dewi Puspa, Maria Margaretha, Erni, Elisa Koraag, Desy, Okti Li, Yayat, Mbak Sita, Marla la’sappe, Ibu Ratna, Andini Harsono dan masih banyak yang lain.
Acara yang akan digelar pada ICD cukup keren, ada acara panggung, komunikasi dan curhat antar komunitas, dan yang paling menarik menurut saya, ada dua puluh tujuh komunitas. Mereka bukan hanya para penulis, juga seniman dan budayawan. Semuanya akan saling menginspirasi satu dengan lainnya. Jika saja ini, berhasil sesuai dengan tujuannya, efek yang dihasilkan, luar biasa.
Namun, pertanyaan selama perjalanan, mengapa lokasi yang dipilih pasar Ngasem? Ada apa dengan pasar Ngasem, sehingga dipilih sebagai ajang pertemuan. Jika tiada sebab, mustahil lokasi yang dipilih pasar Ngasem. Sebuah pertanyaan yang mengganggu.
“Mas saya sudah di depan panggung, njenengan dimana?” pesan WA masuk di ponsel saya. Pengirim WA teman yang berdomisili di Yogya, warga Yogya asli. Tanpa membuang waktu saya, segera menjemputnya untuk saya bawa ke booth “kutu buku” dimana saya duduk.
Dari sang teman, saya tahu, bahwa pasar ngasem, dulunya adalah pasar burung. Hingga pada 22 April 2010 pasar burung itu berpindah lokasi ke pasar nDongkelan. Burung, masih menurut sang teman, adalah salah satu identitas, yang menunjukkan ke-priyayi-an seorang laki-laki Jawa selain turangga (kuda), curiga (keris), wisma (rumah) dan wanita. Maka, logis, jika pasar burung yang bersebelahan dengan Kraton memiliki nilai lebih dari hanya sekedar pasar. Di pasar inilah, kebutuhan akan eksistensi seorang priyayi Jawa dapat direalisasikan.
Isson khaerul, kompasianer yang sejak siang tadi, terlibat pembicaraan intens dengan saya, menambahkan, bahwa pasar burung Ngasem, tidak dapat dipisahkan dengan seniman perupa Jogya. Tak ada seorangpun, seniman yang pernah kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) yang tidak pernah melukis di pasar ini, sebagai tugas belajarnya, mereka umumnya menggambar sketsa pasar Ngasem dalam lukisan sketsa. Demikian Isson khaerul.