Beberapa tulisan saya belakangan ini bercerita tentang BUMDes. Ide besarnya bagaimana sebuah BUMDes dibentuk dan dikelola. Tujuannya, bagaimana menghindari beberapa kejadian tentang gagalnya BUMDes karena pembentukannya yang tidak benar. Apakah itu, disebabkan oleh karena prosesnya, atau karena latar belakang pembentukannya, bias juga karena kesalahan cara berpikir dalam memandang sebuah BUMDes.
Akibatnya, beberapa BUMDes hanya berumur seumur jagung saja. Tidak lebih dari tiga bulan, bahkan kurang dari itu. Beberapa yang lain, disamping berumur seumur jagung, juga meninggalkan utang yang tidak sedikit.
Akibatnya, muncul reaksi yang cukup keras dari beberapa pembaca. Mereka menghendaki, agar pelaku yang telah merugikan BUMDes, segera diusut dan diberikan sanksi berat.
Reaksi demikian, sepintas terlihat baik dan sangat wajar. Bagaimana tidak, untuk pencuri ayam atau sandal jepit saja, sanksi hukuman yang mereka terima cukup berat. Setelah dipukuli massa, lalu dijatuhi hukuman tiga hingga enam bulan.
Lalu, mengapa untuk pelaku kejahatan BUMDes belum dilakukan sanksi yang setimpal dengan yang mereka lakukan? Sangat wajar, jika masyarakat, menghendaki hukuman berat segera dijatuhkan pada mereka.
Namun, saya tidak berpikir demikian. Saya memiliki cara berpikir lain. Apakah itu artinya, saya melawan arus? Saya pikir tidak. Saya hanya ingin mendudukkan persoalannya pada porsi yang benar. Saya ingin memandang sesuatunya secara adil.
Bagini cara berpikirnya.
Jika setiap pelanggaran dalam pengelolaan BUMDes dijatuhkan sanksi hukuman. Maka, penjara yang tersedia tidak memadai untuk menampung pesakitan dalam perkara penyalahan BUMDes. Bayangkan.!, data jumlah desa di Indonesia sesuai dengan rilis yang dikeluarkan Departemen Dalam Negri pada oktober 2015 sejumlah 82.353. (dengan rincian, jumlah desa 74.053 dan kelurahan 8.300).
Untuk menjelaskan lebih detail lagi, saya akan menggunakan analogi sebagai berikut. Ketika kaki manusia melangkah pada jalan yang sesat. Lalu, sang kaki diamputasi. Maka, saya akan mengatakan hal demikian tidak benar, alias salah. Karena, sesungguhnya, ketika kaki manusia melangkah, maka yang menyuruh kaki melangkah adalah otak manusia.
Lalu, apakah otak manusia harus diamputasi? Bagaimana caranya? Bukankah ketika otak manusia diamputasi itu berarti memenggal leher manusia. Dimana letak kesalahan leher, sehingga harus diamputasi atau dipenggal? Agaknya, ketika leher manusia dipenggal, kita telah melakukan kesalahan yang jauh lebih sesat lagi.
Maka, jika memenggal leher manusia tidak mungkin dilakukan, mengamputasi otak, juga tidak mungkin dilakukan. Solusi yang paling cerdas, adalah dengan cara merubah cara berpikir otak, agar tidak menyuruh kaki melangkah pada jalan yang salah.
Apa artinya analogi diatas? Itu artinya, kesalahan yang dilakukan oleh para pelaku BUMDes di desa, tidak lepas dari kesalahan para pembuat kebijakan di level nasional. Merekalah otak dari pembuat kebijakan tentang BUMDes.
Para pembuat kebijakan di pusat pemerintahan itu, telah berbuat kesalahan fatal. Disadari atau tidak, tindakan yang mereka lakukan, antara lain dengan;
- Memberikan target waktu pembentukan BUMDes. Sehingga desa tanpa persiapan matang telah membentuk BUMDes. Tanpa memikirkan siap atau tidak siap, tanpa memikirkan lahan garapan BUMDes yang mereka bentuk telah dikaji secara matang atau tidak, tanpa memikirkan apa lahan garapan itu, kelak memberikan laba atau sebaliknya, hanya akan merugikan desa.
- Para pembuat kebijakan tidak melakukan sosialisasi yang benar. Yang mereka lakukan, hanya sosialisasi mengenai hal-hal yang bersifat tekhnis belaka. Seperti, bagaimana cara membentuk BUMDes, bagaimana cara membuat laporan keuangan BUMDes, berapa dana yang dibutuhkan. Padahal, sosialisasi yang benar adalah
- Bagaimana membentuk BUMDes dengan pola pikir yang benar, bagaimana persiapan pendahuluan sebelum membentuk BUMDes, bagaimana melihat peluang agar BUMDes yang kelak dibentuk memperoleh laba, sehingga tidak mengalami kerugian. Bidang usaha apa saja, yang tidak boleh dilakukan, karena bidang tersebut telah dilakukan atau mampu dilakukan oleh warga desa.
- Tidak menekankan pada Desa agar membentuk BUMDes dengan bidang garapan yang menjadi unggulan desa. Dengan demikian, bidang garapan BUMDes akan mampu memperkenalkan desa dengan ciri khasnya. Memberikan kesempatan pada Desa untuk melakukan hal-hal yang memang mereka telah akrab selama ini. Sehingga, kemungkinan BUMDes akan gagal, kemungkinannya sangat kecil.
- Mempersiapkan Pendamping Desa yang benar-benar memiliki kemampuan kerja untuk membimbing desa dalam upaya membentuk BUMDes dan memberikan pendampingan, terutama pada awal-awal pelaksanaan BUMDes. Namun, yang terjadi saat ini, kemampuan sang Pendamping Desa belum mumpuni, ada kesalahan dalam proses recruitment tenaga pendamping serta gaji yang mereka terima sangat minim, setara dengan UMR DKI. Padahal, tenaga pendamping desa, diharapkan sebagai agen perubahan di desa serta menjadi motor dalam proses pembentukan BUMDes. Lalu, pertanyaannya, bagaimana mungkin semua hal itu, dapat dilakukan oleh pendamping desa, jika salary yang mereka terima, sebatas upah UMR.
Demikianlah, beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan serta perangkat yang membidangi kegiatan BUMDes.
Apakah tulisan ini, bertujuan menghujat para pembuat kebijakan itu? Tentu saja tidak. Tulisan ini, hanya bertujuan memberikan solusi, dari keharusan mengamputasi otak yang salah, karena menyuruh kaki melangkah ketempat yang salah.
Jika, merubah cara berpikir dan bertindak dapat dilakukan, mengapa harus mengamputasi otak?.
.
.
.
Jayalah negriku, Jayalah Indonesiaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H