Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, memiliki arti tersendiri pada saya. Beberapa kebetulan terjadi. Kebetulan yang pertama, saya orang Minang, dan Buya Hamka, Sang Pengarang, juga orang Minang. Sehingga, beberapa istilah yang sulit dimengerti oleh mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa Minang, bagi saya mudah untuk dimengerti. Kebetulan yang kedua, lokasi peristiwa para tokoh dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terletak tidak jauh dari rumah orang tua di kampung. Kebetulan yang ketiga, saya membaca novel ini berulang-ulang.
Ketika usia saya beranjak 24 tahun, saya diajak Ibu 'pulang kampung'. Inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran kedua orang tua. Tanah leluhur, Ranah Minang. Sejak tiba di Ranah Minang, seluruh alur cerita dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghantui saya. Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menapaki daerah-daerah yang disebutkan dalam lokasi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Mulai dari Batipuh, Kota Padang Panjang, Stasiun Padang Panjang. Hingga, ketika tahun awal 80’an saya berdomisili di Jakarta, saya tetap mengejar Sang Idola, Buya Hamka.
Dua Mesjid yang sering saya datangi, Mesjid Al-Azhar Kebayoran Baru di Jakarta Selatan dan Mesjid Munawarah di Kampung Bali, Tanah Abang. Jakarta Pusat. Mungkin, salah satu alasannya, karna Buya Hamka sering mengisi pengajian di dua masjid di atas. Demikian kuatnya, ingatan akan “Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, sehingga dipertengahan tahun 2015, ketika saya mengunjungi Bojonegoro, saya sempat berputar-putar di pantai Rembang, untuk mencari monumen Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Ternyata, pencarian itu salah. Pada saat rehat, saya sempatkan googling lokasi Monumern. Ternyata lokasinya di Lamongan.
Kembali kesempatan terbuka. Dalam kesempatan pulang dari Flores dengan bersepeda motor, saya bertekad untuk singgah di Lamongan. Tujuannya, tidak lain, mengunjungi monument Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Monumen yang dibangun pada tahun 1936 itu kondisinya masih sangat baik. Perlu apresiasi untuk Telkom yang berkantor di lahan dibangunnya monument Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karena, sebelumnya, saya sempat baca, kondisinya sangat mengenaskan, tenggelam di antara parkiran becak yang berada di sana. Jejak itu, masih ada, karena memang areal itu, sebelumnya digunakan sebagai lahan terminal angkot Pelabuhan Brondong Lamongan. Namun, sejak digunakan Telkom, kondisinya bersih. Demikian juga dengan kondisi fisik Momunen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Monumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dibangun untuk mengenang peristiwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pada hari Selasa, 20 Oktober 1936 pada posisi 12 mil dari Pantai Brondong Lamongan, tempat monument itu kini berdiri. Dalam perjalan terakhir sebelum tenggelam, Kapal Van Der Wijck melayari rute Bali – Semarang. Setelah bertolak dari Surabaya menuju Semarang, insiden itupun terjadi di perairan Brondong Lamongan. Kapal yang dibuat oleh Maatschappij Fijenoord Rotterdam tahun 1921 dengan berat tonase 2.596 ton, lebar kapal 13,5 m mengangkut 187 pribumi dan 39 warga Eropah, dengan awak Kapal seorang Kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK. Pada peristiwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, 4 orang meninggal dan 49 hilang.
Tak banyak yang perlu saya komentari tentang kondisi fisik Monumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selain acungan jempol untuk kondisinya yang terawat baik. Jika ada koreksi yang ingin diperbaiki, maka itu, adalah keberadaan tower sinyal letaknya persis hanya satu setengah meter dari fisik monumen. Sehingga, menisbikan kesakralan sang monumen dan mengganggu pemandangan. Selebihnya saya acungi jempol.
Untuk merefresh kembali isi buku Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, maka berikut ini saya sertakan sinopsisnya. Tak lengkap memang. Namun, saya berharap pesan yang ingin disampaikan dapat ditangkap.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk menceritakan tentang kisah cinta yang tidak sampai. Karena, terhalang oleh adat yang sangat kuat. Zainudin, seorang pemuda dari perkawinan campuran Minangkabau dan Makassar. Ayah Zainudin yang berdarah Minangkabau, menjalani hukuman pembuangan ke Makassar hingga di Makassar ia menikah dengan Ibu Zainudin yang berdarah asli Makassar. Pemuda malang ini, ditinggal ibunya ketika masih berusia bulanan, dalam usia yang sangat muda, sementara Sang Ayah turut berpulang menyusul Sang Ibunda. Selanjutnya, Zainudin diasuh oleh Mak Base, pembantu setia di keluarga Zainudin.