Pagi itu, setelah sarapan pagi di sebuah penginapan kecil dekat alun-alun kota Ruteng, perjalanan saya selanjutnya, dalam rangka menyusuri Pulau Flores adalah Labuhan Bajo. Jika saja, semuanya lancar dan informasi tentang Labuhan Bajo telah saya peroleh, sebagai oleh-oleh untuk para pembaca. Maka saya berencana akan mengakhiri perjalanan di Flores. Itu artinya, entah malam atau sore hari, saya akan meninggalkan Labuhan Bajo menuju Pelabuhan Sape di Nusa Tenggara Barat. Saya berharap, semuanya akan jadi lancar. Sehingga, apa yang saya sudah direncanakan dapat terrealisir.
Jarak antara Ruteng – Labuhan Bajo sekitar 126 Km, kendaraan roda dua yang saya gunakan menapaki daratan Pulau Flores kondisinya cukup sehat, sementara jam di tangan baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi WITA. Maka, jika saja saya berjalan santai, saya perkiraan sekitar pukul sepuluh atau bahkan kurang, saya akan tiba di Labuhan Bajo. Bismillah…. Berangkat!!!.
Anggapan bahwa Pulau Flores tanah tandus telah terbantahkan, selama perjalanan dari Larantuka hingga Ruteng, hanya beberapa tempat saja yang gersang, selebihnya, hampir mendekati kondisi di Pulau Jawa. Ada sawah, pohon-pohon cengkeh, sayur mayur. Sama seperti yang saya alami pagi itu. Sesaat saya meninggalkan Ruteng, saya langsung disergap dengan area persawahan hijau sebelah kanan saya dengan latar belakang pegunungan nan hijau. Bedanya dengan Pulau Jawa, Gunung di Flores tidak ditumbuhi oleh pohon besar. Tetapi, justru tanpa pohon besar, view yang tercipta lebih indah. Seakan pegunungan itu, dilapisi oleh lumut hijau. Imagine!.
Beberapa perahu dengan segala macam bentuk ada di sini. Perahu Bugis yang besar-besar, perahu ukuran sedang, beberapa yacht parkir di Pelabuhan Bajo. Agaknya perahu-perahu itu, yang akan mengantar wisatawan ke Pulau-pulau sekitar Labuhan Bajo seperti Pulau Komodo dll. Saya yang tak sempat ke Komodo, menyempatkan diri mengunjungi Balai Taman Komodo di Jalan Kasimo Labuhan Bajo. Di Kantor Balai Taman Komodo ini, banyak informasi yang dapat diperoleh sekitar “Komodo”.
Sayang, saya tak sempat untuk mengunjungi pulau-pulau itu.
Begitu tiba di Labuhan Bajo, saya disuguhi pemandangan pelabuhan laut dari areal ketinggian, beberapa kapal dan perahu yang lalu lalang, beberapa pulau kecil yang mendindingi pelabuhan, serta kesibukan pelabuhan. Sungguh view Indah.
Setelah maju beberapa puluh meter, saya lihat ada kerumunan anak sekolah, mungkin terjadi tawuran, demikian yang terlintas di kepala ini. Ternyata mereka pulang cepat, karena ada acara di sekolahan. Pada anak sekolah yang saya tanyakan dimana lokasi wisata dalam kota. Mereka menjawab Goa Batu Cermin dan Bukit Cinta.
Bahkan, salah satu siswa, ada yang bersedia mengantarkan saya ke Goa Batu cermin. Jadilah, perjalanan wisata ke Goa Batu Cermin diantar oleh siswa yang pulang cepat itu.
Setelah tiba dilokasi dan membayar tiket masuk, mulailah perjalanan dengan berjalan kaki dimulai menuju mulut Goa. Di kiri-kanan jalan dipenuhi pohon bambu, hingga berjalan kaki diantaranya, sedikit terasa ringan.
Sekembali dari Goa Batu Cermin saya sengaja beristirahat sambil mencharge batu kamera LSR. Saya tak ingin, kejadian konyol yang baru saya alami akan berulang kembali. Tokh tujuan yang kedua, Bukit Cinta hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di lokasi.
Selesai mengisi baterey LSR, saya melanjutkan perjalanan Bukit Cinta, jaraknya tidak jauh dari kota Labuhan Bajo, hanya saja, untuk mencapai lokasi, jalan yang tersedia, menanjak terus dan berkelok-kelok hingga lokasi, meski demikian, kondisi jalan cukup baik. Setelah melewati Gereja Salom dan Chez Felix lalu berbelok ke kiri, tibalah di lokasi Bukit Cinta.
Turun dari Bukit cinta, jam sudah menunjukkan pukul 16 WITA, saya bergegas menuju Pelabuhan penyebrangan untuk menuju Pelabuhan Sape di NTB. “Kapal berangkat jam lima Bapa” demikian keterangan petugas loket penyeberangan. Itu artinya, masih ada waktu untuk mengisi perut dan melihat kondisi pasar tradisional dan pasar kuliner yang terletak bersebelahan dengan Dermaga penyeberangan. Saya terkagum-kagum melihat air laut yang demikian jernih tanpa sampah, sementara disebelahnya ada pasar tradisionil dan pasar kuliner. Untuk soal menjaga kebersihan laut tanpa sampah ini, Labuhan Bajo, layak diacungi jempol.
Dan perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua menyusuri daratan Flores pun berakhir.
NB: Seluruh kisah perjalanan menyusuri Pulau Flores ini, saya muat di Kompasiana dan akan dibukukan. Jika sesuai rencana, pada bulan Januari atau Februari 2017 kelak, akan segera terbit. Mohon do’a seluruh Kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H