Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Labuhan Bajo, Kota Terakhir, Hari-hari Terakhir di Tahun 2016

29 Desember 2016   15:20 Diperbarui: 30 Desember 2016   09:36 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, setelah sarapan pagi di sebuah penginapan kecil dekat alun-alun kota Ruteng, perjalanan  saya selanjutnya, dalam rangka menyusuri Pulau Flores adalah Labuhan Bajo. Jika saja, semuanya lancar dan informasi tentang Labuhan Bajo telah saya peroleh, sebagai oleh-oleh untuk para pembaca. Maka saya berencana akan mengakhiri perjalanan di Flores. Itu artinya, entah malam atau sore hari, saya akan meninggalkan Labuhan Bajo menuju Pelabuhan Sape di Nusa Tenggara Barat. Saya berharap, semuanya akan jadi lancar. Sehingga, apa yang saya sudah  direncanakan dapat terrealisir.

Jarak antara Ruteng – Labuhan Bajo sekitar 126 Km, kendaraan roda dua yang saya gunakan menapaki daratan Pulau Flores kondisinya cukup sehat, sementara jam di tangan  baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi WITA. Maka, jika saja saya berjalan santai, saya perkiraan sekitar pukul sepuluh atau bahkan kurang, saya akan tiba di Labuhan Bajo. Bismillah…. Berangkat!!!.

Anggapan bahwa Pulau Flores tanah tandus telah terbantahkan, selama perjalanan dari Larantuka hingga Ruteng, hanya beberapa tempat saja yang gersang, selebihnya, hampir mendekati kondisi di Pulau Jawa. Ada sawah, pohon-pohon cengkeh, sayur mayur.  Sama seperti yang saya alami pagi itu. Sesaat saya meninggalkan Ruteng, saya langsung disergap dengan area persawahan hijau sebelah kanan saya dengan latar belakang pegunungan nan hijau. Bedanya dengan Pulau Jawa, Gunung di Flores tidak ditumbuhi oleh pohon besar. Tetapi, justru tanpa pohon besar, view yang tercipta lebih indah. Seakan pegunungan itu, dilapisi oleh lumut hijau. Imagine!.

View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
Pukul sepuluh lewat sepuluh menit, k saya telah tiba di Labuhan Bajo. Terasa sesuatu yang berbeda dengan kota-kota yang telah saya kunjungi sebelumnya di Flores. Labuhan Bajo terasa lebih ramai. Kota yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Manggarai Barat ini, di dominasi dengan pelabuhan lautnya. Inilah kota pintu gerbang menuju daratan Flores dari arah barat –NTB, Bali, Jawa-

Beberapa perahu dengan segala macam bentuk ada di sini. Perahu Bugis yang besar-besar, perahu ukuran sedang, beberapa yacht parkir di Pelabuhan Bajo. Agaknya perahu-perahu itu, yang akan mengantar wisatawan ke Pulau-pulau sekitar Labuhan Bajo seperti Pulau Komodo dll. Saya yang tak sempat ke Komodo, menyempatkan diri mengunjungi Balai Taman Komodo di Jalan Kasimo Labuhan Bajo. Di Kantor Balai Taman Komodo ini, banyak informasi yang dapat diperoleh sekitar “Komodo”.

Kantor Taman Komodo di Jalan Kasimo Labuhan Bajo. (dok. Pribadi)
Kantor Taman Komodo di Jalan Kasimo Labuhan Bajo. (dok. Pribadi)
Labuhan Bajo awalnya, bagian dari Kabupaten Manggarai. Lalu, kabupaten Manggarai dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yakni; Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Labuhan Bajo adalah ibu kota untuk Manggarai Barat. Hal ini sesuai dengan UU no.8 Tahun 2003. Dengan wilayah cakupan Pulau Flores bagian barat serta beberapa pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya kecil, Pulau Bidadari dan Pulau Longos. 

Sayang, saya tak sempat untuk mengunjungi pulau-pulau itu.

View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
Beberapa obyek wisata.

Begitu tiba di Labuhan Bajo, saya disuguhi pemandangan pelabuhan laut dari areal ketinggian,  beberapa kapal dan perahu yang lalu lalang, beberapa pulau kecil yang mendindingi pelabuhan, serta kesibukan pelabuhan. Sungguh view Indah.

Setelah maju beberapa puluh meter, saya lihat ada kerumunan anak sekolah, mungkin terjadi tawuran, demikian yang terlintas di kepala ini. Ternyata mereka pulang cepat, karena ada acara di sekolahan. Pada anak sekolah yang saya tanyakan dimana lokasi wisata dalam kota. Mereka menjawab Goa Batu Cermin dan Bukit Cinta. 

Bahkan, salah satu siswa, ada yang bersedia mengantarkan saya ke Goa Batu cermin. Jadilah, perjalanan wisata ke Goa Batu Cermin diantar oleh siswa yang pulang cepat itu.

Setelah tiba dilokasi  dan membayar tiket masuk, mulailah perjalanan dengan berjalan kaki dimulai menuju mulut Goa. Di kiri-kanan jalan dipenuhi pohon bambu, hingga berjalan kaki diantaranya, sedikit terasa ringan.

View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
View Labuhan Bajo dilihat dari Bukit Cinta (dok. Pribadi)
Perjalanan memasuki mulut Goa dimulai dengan menuruni anak tangga, memakai helm dan dibekali senter. Ternyata, senter memang diperlukan, karena gelapnya ruangan di dalam Goa. Entah karena usia tua atau lelahnya perjalanan yang sudah sekian hari dari larantuka, saya merasakan keletihan disertai keringat yang cukup deras mengucur pada seluruh tubuh. Namun, semuanya terbayar lunas ketika menyaksikan stalaktit dan stalagmit  yang berkilau. Sangat disayangkan, semua peristiwa di Goa Batu Cermin tak ada yang terrekam, karena batu kamera LSR saya low batt. Kekonyolan yang harus saya sesali, karena peristiwa ke Goa Batu Cermin, entah kapan akan terulang kembali.

Sekembali dari Goa Batu Cermin saya sengaja beristirahat sambil mencharge batu kamera LSR. Saya tak ingin, kejadian konyol yang baru saya alami akan berulang kembali. Tokh tujuan yang kedua, Bukit Cinta hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di lokasi.

Selesai mengisi baterey LSR, saya melanjutkan perjalanan Bukit Cinta, jaraknya tidak jauh dari kota Labuhan Bajo, hanya saja, untuk mencapai lokasi, jalan yang tersedia, menanjak terus dan berkelok-kelok  hingga lokasi, meski demikian, kondisi jalan cukup baik. Setelah melewati Gereja Salom dan Chez Felix lalu berbelok ke kiri,  tibalah di lokasi Bukit Cinta.

View lain dilihat dari Dermaga Labuhan Bajo (dok. Pribadi)
View lain dilihat dari Dermaga Labuhan Bajo (dok. Pribadi)
Mengapa disebut Bukit Cinta?  Menurut beberapa sumber yang saya tanya. Konon, karena tempatnya yang ketinggian, dari bukit Cinta, kita dapat melihat dengan jelas kondisi kota Bajawa serta pulau-pulau kecil yang mengitarinya, serta kapal dan Perahu yang sedang sandar, dan dari Bukit cinta juga, kita dapat melihat pesawat yang landing dan take off dari Bandara Internasional Komodo Labuhan Bajo.  Maka, ketika malam tiba, sajian view yang terhampar sangat memikat karena ditingkahi lampu yang gemerlap, dan itu dimanfaat oleh muda-mudi sebagai area kencan. Dari kegiatan muda-mudi ini, lahirlah istilah Bukit Cinta.  Wallahu a’laam.

Turun dari Bukit cinta, jam sudah menunjukkan pukul 16 WITA, saya bergegas menuju Pelabuhan penyebrangan untuk menuju Pelabuhan Sape di NTB. “Kapal berangkat jam lima Bapa” demikian keterangan petugas loket penyeberangan. Itu artinya, masih ada waktu untuk mengisi perut dan melihat kondisi pasar tradisional dan pasar kuliner yang terletak bersebelahan dengan Dermaga penyeberangan. Saya terkagum-kagum melihat air laut yang demikian jernih tanpa sampah, sementara disebelahnya ada pasar tradisionil dan pasar kuliner. Untuk soal menjaga kebersihan laut tanpa sampah ini, Labuhan Bajo, layak diacungi jempol.

Selesai mengisi perut, saya kembali menuju ke Dermaga dan segera naik ke kapal penyeberangan. Tepat pukul lima lewat sepuluh, Kapal Cakalang II  meninggalkan Dermaga, membawa saya menuju ke Pelabuhan Sape di NTB. Diperkirakan pada tengah malam sekitar pukul satu Dinihari Kapal Cakalang II akan sandar di Pelabuhan Sape, NTB.

Dan perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua menyusuri daratan Flores pun berakhir.

NB: Seluruh kisah perjalanan menyusuri Pulau Flores ini, saya muat di Kompasiana dan akan dibukukan. Jika  sesuai rencana, pada bulan Januari atau Februari 2017 kelak, akan segera terbit. Mohon do’a seluruh Kompasianer.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun